Sosok Harun Al Rasyid, Remaja yang Ditembak Mati dari Jarak Dekat pada 22 Mei 2019

- Rabu, 20 Januari 2021 | 14:40 WIB
Harun Al Rasyid semasa hidup (kiri) dan saat tewas ditembak (kanan). (Ist)
Harun Al Rasyid semasa hidup (kiri) dan saat tewas ditembak (kanan). (Ist)

Kasus penembakan terhadap Harun Al Rasyid, remaja 15 tahun pada 22 Mei 2019 lalu, dilaporkan oleh Tim Advokasi Korban Pelanggaran HAM Berat ke Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, pada 16 Januari 2021.

Seperti diketahui, Harun tewas ditembak dalam kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei 2019. Kerusuhan itu awalnya berisi tuntutan pengusutan kecurangan Pemilu 2019.

Kerusuhan tersebut terjadi di sejumlah lokasi, antara lain di depan Gedung Bawaslu, Pasar Tanah Abang, Simpang Jalan Agus Salim (Sabang), Jembatan Slipi Jaya, dan Petamburan (sekitar kompleks Asrama Brimob).

Harun sendiri terkena tembak di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Ia tewas ditembak setelah peluru menembus dadanya.

Menurut polisi, ia ditembak oleh penembak misterius dari jarak yang cukup dekat, yakni 11 meter, yang ciri-cirinya berkulit hitam, tinggi 175 cm, berambut panjang dan lurus. Pelaku diduga menembak Harun dengan tangan kiri.

Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Suyudi Ario Seto, dalam keterangan pers pada Jumat, 5 Juli 2019 lalu mengatakan, berdasarkan hasil uji balistik yang diperkuat dengan keterangan saksi, pelaku penembakan diduga memegang senjata apinya di bawah dada mengarah ke samping.

"Yang Harun Al Rasyid ditemukan proyektil di badannya, dari hasil pemeriksaan balistik yaitu kaliber 9x17 mm," katanya.

Hingga kini, pelaku penembak Harun masih belum terungkap. Yang menyedihkan, keluarga Harun sempat sama sekali tidak tahu hasil otopsi terhadap jasad anak mereka.

Adapun dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019 itu, selain Harun, ada delapan orang lainnya yang juga tewas. Seorang korban tewas lainnya adalah Abdul Aziz. 

"Kami akan terus berjuang untuk mencari keadilan dan memutus mata rantai impunitas (keadaan tak dapat dipidana) dalam skala yang sangat mengerikan di negara ini," demikian isi laporan Tim Advokasi Internasional sebagaimana diterjemahkan Indozone.

-
Tangkapan layar laporan Tim Advokasi ke ICC Den Haag

Pada bagian atas tangkapan layar laporan tersebut, diketahui bahwa laporan tersebut dilayangkan kepada Juru Bicara, dan Kepala Departemen Luar Negeri ICC, Fadi El-Abdallah melalui email.

"Kami akan menyediakan informasi mengenai pelanggaran HAM kepada komunitas HAM internasional, karena itu menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia sudah tidak beres dan pada saat yang sama tidak mampu untuk memutus mata rantai pelanggaran HAM yang oleh para pelaku sampai sekarang masih terus dilakukan untuk mengancam kehidupan rakyat Indonesia," lanjut isi laporan tersebut.

Koordinator Tim Advokasi, M Hariadi Nasution mengatakan, laporan itu dibuat karena telah terbukti bahwa sistem legal di Indonesia tidak memiliki kemauan dan tidak bisa untuk memutus mata rantai pelanggaran HAM di Indonesia yang pelakunya saat ini masih berkeliaran. Tak cuma ke ICC Den Haag, pihaknya juga melayangkan laporan ke Committee Against Torture (CAT) di Jenewa, Swiss.

"Bukan cuma ke ICC .. Tim Adokasi juga sejak 25 Desember sdh mengirimkan LAPORAN ke COMMITTE AGAINST TORTURE di Geneva, Indonesia terikat dalam Konvensi Anti Penyiksaan yg sudah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1998," katanya kepada Indozone saat dihubungi via WhatsApp Rabu siang (20/1/2021).

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X