Sriwijaya Diminta Urus Kelaikan Terbang Ketimbang "Ngotot" Beroperasi

- Minggu, 10 November 2019 | 15:30 WIB
Sejumlah calon penumpang Sriwijaya Air melakukan protes kepada petugas karena penerbangan mereka ditunda hingga berjam-jam, di Terminal 2D, Bandara Soekarno - Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (7/11/2019). (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
Sejumlah calon penumpang Sriwijaya Air melakukan protes kepada petugas karena penerbangan mereka ditunda hingga berjam-jam, di Terminal 2D, Bandara Soekarno - Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (7/11/2019). (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Perselisihan antara Garuda Indonesia Grup dengan Sriwijaya Air Grup masih terus bergulir. Kedua belah pihak saling klaim menjadi yang paling benar. Padahal, ada hal lain yang justru sangat penting untuk diperhatikan, yaitu keamanan dan keselamatan penerbangan. 

Hal itulah yang kemudian disoroti oleh pengamat penerbangan, Gatot Raharjo saat berbincang dengan indozone.id, Minggu (10/11). Menurut Gatot, akar permasalahan dari keduanya yaitu kebutuhan akan pelayanan jasa perawatan pesawat dan suku cadang untuk pesawat milik Sriwijaya Air Grup yang tidak lagi didukung oleh Garuda Maintenance Facility (GMF) lantaran beban utang yang tak kunjung diselesaikan. 

Gatot juga merujuk pada data dari Ditjen Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan tertanggal 28 Oktober 2019 tentang temuan special audit DKUPPU No.105/INT/DV/X/2019. Dari hasil audit itu diketahui kondisi HIRA (Hazard, Identification, Risk Assessment) pesawat milik Sriwijaya Air Grup berada di level 4A atau tidak laik terbang. 

"Sebenarnya kalau masalah bisnis, kedua belah pihak boleh saja saling klaim.Namun jangan lupa, dalam penerbangan itu yang utama adalah keselamatan. Kalau dilihat data dari DKUPPU, HIRA-nya tinggi, RED 4A.
Ini yang pertama harus dijawab oleh manajemen Sriwijaya Air kalau memang mau beroperasi sendiri. Harus bisa menurunkan HIRA-nya jadi hijau," ujar Gatot.

Disinilah kemudian Gatot menganggap bahwa peran regulator menjadi sangat penting dalam menyelesaikan masalah Garuda-Sriwijaya. Menurutnya, Ditjen Perhubungan Udara harus benar-benar melakukan monitor secara ketat, khususnya terhadap airworty (layak terbang) dari pesawat-pesawat milik Sriwijaya Air Grup.

"Untuk itu peran regulator penting sekali untuk menentukan pesawat Sriwijaya itu airwhorty atau tidak, sesuai CASR," jelasnya.

"Yang kedua baru bisnis dan pelayanan kepada penumpang. Karena pesawat yang layak terbang cuma separuh, berarti kapasitas yang tersedia juga cuma separuh. Ini akan berdampak pada pelayanan, terutama pada penumpang yang sudah terlanjur beli tiket. Bisa terjadi delay panjang karena ketiadaan pesawat yang mengangkut," imbuhnya.

Ia pun menyarankan agar pihak Sriwijaya Air Grup tidak "Ngotot" untuk terbang dan lebih baik melakukan pembenahan disisi internal, mulai dari manajemen yang kuat, hingga kelaikan pesawat untuk melayani penerbangan. 

"Sebaiknya SJ (Sriwijaya) berhenti operasi dulu sampai semuanya beres, terutama keselamatannya. Minimal tidak menjual tiket dulu dan fokus melayani penumpang yang sudah membeli tiket dengan pesawat yang ada," tuturnya. 

Kemudian jika memang sudah diputuskan untuk operasional sendiri, Sriwijaya Air Grup harus bergerak cepat menutup HIRA-nya sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil (PKPS atau CASR), baik dengan menentukan direksi yang definitif, memperkuat perawatan (SDM, peralatan, suku cadang dll), memperkuat SDM pilot dan lainnya,termasuk memperkuat sisi pelayanan.

"Semua itu tidak gampang dan butuh waktu. Seperti misalnya pengangkatan direktur operasi, teknik dan keselamatan, harus melalui assesment di regulator. Jika lolos baru boleh. Juga mencari partner perawatan pesawat, butuh waktu," kata dia. 

"Dan terkait ini, regulator juga harus tegas, kalau memang pesawatnya tidak airworthy, ya harus dilarang terbang, nggak ada kompensasi. Dengan demikian penumpang akan terlindungi," pungkasnya. (SN)

 

 

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Gempa 5,3 Magnitudo Guncang Gorontalo Dini Hari

Kamis, 25 April 2024 | 14:57 WIB
X