Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan selama tahun 2019, kasus kekerasan seksual di Indonesia tercatat sebanyak 11 kasus atau 64,70 persen menjerat anak-anak diusia Sekolah Dasar (SD).
Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno mengatakan, kasus kekerasan seksual yang dialami siswa SD selain karena bujukan pelaku, biasanya anak-anak ini tak mengetahui soal batasan mana yang menjadi rahan private mereka.
Retno mengungkapkan karena anak-anak ini juga tak menerima info secara benar dari orang tua mereka, salah satunya dalam penyebutan alat kelamin mereka. Oleh sebab itu sebaiknya orang tua tak perlu tabu menyebutkan secara gambang penyebutan alat kelamin anak-anaknya.
"Misalnya mandi ya, kan kalau anak kita masih kecil. kita bisa mandi bersama dia. Kita bisa menjelaskan disitu, dia punya apa, kita punya apa. Dengan bahasa yang tepat. ini alat kelamin perempuan namanya vagina, laki-laki namanya penis. Itukan enggak porno," tutur Retno, di Hotel Rivoli, Senin (9/12).
Hal ini ungkap Retno justru menyulitkan pihak kepolisan saat melakukan interogasi. Diceritakan Retno karena salahnya didikan orang tua dalam menyebutkan jenis kemaluan, ada anak yang menyebutkan penis dengan sebutan 'sosis'.
"Ketika diganti-ganti ya ketika dikepolisian kaget semua karena semua anak ngomongnya beda. Bahkan ada yang ngomong 'sosis' ya untuk alat kelamin laki-laki kan ini kita bingung ya," ungkap Retno.
Ia menyarankan agar orang tua dari sejak dini sudah menyebutkan alat kelamin tanpa menggunakan perumpamaan yang berbeda-beda. Setelah mengenalkan hal tersebut maka ajarkan batasan terhadap anak soal sentuhan.
"Cirinya apa? tidak menyentuh bagian yang ditutup kalau kamu berenang. Laki-laki kalau berenang yang ditutup penis dan dubur, perempuan payudara dan vagina. Nah dibagian itulah nak yang enggak boleh dilihat siapapun," tegasnya.
