Ketua Komisi X : Permendikbud Kekerasan Seksual Perlu Revisi Terbatas

- Selasa, 9 November 2021 | 14:40 WIB
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda. (Instagram/@syaifulhooda)
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda. (Instagram/@syaifulhooda)

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual menjadi sorotan.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mendesak agar Mendikbud Ristek Nadiem Makarim melakukan revisi terbatas sebagian substansi dari Permendikbud 30/2021 khususnya kluster definisi kekerasan seksual.

Mendikbud Nadiem, kata dia, bisa mengundang pakar hukum atau agama untuk merumuskan norma konsensual agar mempunyai kekuatan yang lebih mengikat bagi siapa saja civitas akademika yang ingin melakukan hubungan seksual.

“Tidak ada salahnya Mas Nadiem merevisi terbatas Permendikbud ini secara cepat untuk lebih menegaskan norma konsensual agar mempunyai kekuatan yang lebih mengikat, sehingga siapa saja yang hendak melakukan hubungan seksual bisa dicegah,” kata Huda kepada wartawan, Selasa (9/11/2021).

Huda juga mengakui jika definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud 30/2021 bisa memicu multitafsir. Menurutnya definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud ini harus lebih tegas lagi.

Baca juga: Minta Dibatalkan, DPR Nilai Permendikbudristek No 30 tahun 2021 Bermasalah dan Belum Jelas

Norma konsensual yang menjadi faktor dominan untuk menilai terjadi atau tidaknya kekerasan seksual, harus ditegaskan dalam kekuatan mengikat.

“Persetujuan dua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual harus ditautkan dalam aturan resmi baik secara norma hukum negara maupun agama, sehingga kekuatan hukum yang mengikat. Jangan sampai persetujuan itu dikembalikan kepada masing-masing individu karena bisa jadi saat menyatakan konsensual hal itu tidak benar-benar menjadi konsensus,” tegas Huda.

Politikus PKB ini berkata, lahirnya Permendikbud tersebut juga harus dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mencegah lebih banyaknya korban kekerasan seksual.

“Harus diakui jika saat ini banyak sekali korban kekerasan seksual di lingkungan kampus yang membutuhkan perlindungan hukum,” urainya.

Selain definisi kekerasan seksual, dia melanjutkan, yang memicu banyak polemik juga ada aturan pencegahan kekerasan seksual, penanganan wajib kekerasan seksual di kampus dari mulai pendampingan, perlindungan, hingga konseling. Lalu ada juga aturan tentang sanksi bagi pelaku kekerasan seksual.

“Untuk pencegahan kekerasan seksual misalnya dalam Permendikbud 30/2021 cukup detail diatur pembatasan pertemuan civitas akademika secara individu di luar area kampus maupun di luar jam operasional kampus. Bahkan jika ada, pertemuan tersebut harus ada izin dari pejabat kampus dalam hal ini ketua jurusan atau ketua program studi,” katanya.

Tingginya angka kekerasan seksual ini, lanjut Huda, harus disikapi secara tegas. Lahirnya Permendikbud 30/2021 harus diletakkan dari prespektif tersebut.

“Kami menilai persepsi Permendikbud 32/2021 sebagai alat untuk melegalkan free sex terlalu berlebihan. Harusnya semua pihak menyepakati bahwa kekerasan seksual perlu disikapi  secara tegas dan Permendikbud 32/2021 merupakan salah satu bentuk penyikapan,” tegasnya.

Halaman:

Editor: Gema Trisna Yudha

Tags

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X