Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah agar menindaklanjuti data 3.830 orang berstatus hitam yang berkeliaran di mal sebagaimana yang diperoleh dari PeduliLindungi.
Ia merasa heran bagaimana bisa orang positif Covid-19 atau dengan status hitam bisa masuk ke mal melalui aplikasi PeduliLindungi ini.
“Bagaimana mungkin orang tersebut bisa berkeliaran di mal? Bukankah saat scan barcode dan status mereka berwarna hitam seharusnya dilarang masuk oleh petugas?” ucap Netty, Jumat (17/9/2021).
Netty berkata penyampaian data ribuan orang berstatus hitam berkeliaran di mal menunjukkan kelemahan sistem protokol kesehatan di tempat publik dan juga menjadi kritik terhadap sistem aplikasi.
"Tidak semua penjaga pintu memerhatikan dengan seksama hasil scanning barcode. Bahkan ada mal yang pengunjungnya bisa masuk tanpa melewati deteksi barcode. Ini seperti formalitas saja, bukan benar-benar untuk menyaring pengunjung yang sehat dan tidak," jelasnya.
Kemudian dia memandang Kelemahan sistem PeduliLindungi adalah tidak dapat membedakan status hitam pengunjung, apakah karena positif Covid-19 atau karena menjadi kontak erat.
Baca Juga: UNICEF Mendesak Sekolah di Negara Pandemi Segera Dibuka Kembali
"Status pengunjung bisa otomatis berubah menjadi hitam saat sudah berada di dalam mal ketika terdeteksi menjadi kontak erat. Jadi perubahan status bukan karena tes swab antigen atau swab PCR tapi lebih pada otomatisasi aplikasi," tutur Netty
"Nah, bagaimana tindak lanjut pemerintah atas pengunjung berstatus hitam yang secara prosedur medis seharusnya dibantu untuk melakukan isolasi terpusat (isoter) di pusat karantina atau isolasi mandiri?" tambahnya.
Dia pun mempertanyakan apakah Kementerian Kesehatan telah menyiapkan infrastruktur dan nakes di tempat publik seperti mal agar mereka yang berstatus hitam segera mendapat perawatan.
Selain itu, kata Netty, aplikasi PeduliLindungi juga tidak dapat mendeteksi status hijau pengunjung dengan akurat.
“Status seseorang akan terus hijau selama ia sudah divaksin, tidak melakukan tes Covid-19 dan tidak menjadi kontak erat. Dia akan bebas masuk ke dalam mal maupun fasilitas publik lainnya. Padahal bisa saja dia sudah terpapar namun tidak diketahui, karena tanpa gejala dan tidak dilakukan tes. Bukankah tidak ada jaminan orang yang sudah vaksin tidak akan terinfeksi,” urai Netty.
Dengan faktor kelengahan penjaga mal, tidak tersedianya infrastruktur medis, dan kurang akuratnya aplikasi untuk mendeteksi, kata Netty, perlu dipertimbangkan penggunaan tes swab antigen atau swab PCR sebagai persyaratan masuk area publik, bukan sekadar status hijau aplikasi.
"Tidak disyaratkannya tes swab antigen maupun swab PCR untuk memasuki mal juga berdampak pada kurang akuratnya pendeteksian kesehatan masyarakat," imbau Netty.