Wujudkan Keterwakilan Perempuan Di Parlemen Harus Lewati Tahap Panjang

- Senin, 2 September 2019 | 14:09 WIB
ANTARA FOTO
ANTARA FOTO

Kabar-kabar keterwakilan perempuan minimal 30 persen di legislatif sepertinya masih menjadi wacana di Sumatera Barat. Berdasarkan dari data yang dihimpun, jumlah kaum hawa yang berhasil menduduki kursi DPRD setempat masih di bawah angka 30 persen.

Salah satu contoh nyata adalah di Kabupaten Solok Selatan. Dalam 10 tahun terakhir tak ada kursi bagi bundo kanduang. Hingga dilantiknya anggota DPRD hasil Pemilu 2019, lengkap sudah tiga periode dewan setempat dihuni oleh kaum lelaki.

Sama halnya dengan DPRD Sumatera Barat yang pada periode 2014 hingga 2019 ada tujuh perempuan yang menduduki kursi DPRD. Jumlah ini melorot menjadi empat orang dari total 65 orang pada periode 2019- hingga 2024.

-
ilustrasi/ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Pada periode 2014 hingga 2019 perempuan yang menduduki kursi DPRD adalah Siti Izzati Aziz, Riva Melda, Rahayu Purwanti, Armiati, Endarmy, Marlina Suswati dan Zusmawati. Sedangkan pada periode 2019 hingga 2024 perempuan yang menduduki kursi DPRD hanya ada empat orang atas nama Leli Arni dari PDI Perjuangan, Mesra dari Partai Gerindra, Siti Izzati Aziz (Partai Golkar) dan Yunisra Syahiran (Partai Gerindra).

Hal ini berdampak langsung terhadap Indeks Demokrasi Indonesia Sumatera Barat yang salah satu indikatornya adalah keterwakilan perempuan di legislatif.

Kota Padang sendiri memang sedikit lebih baik karena pada masa 2014-2019 kursi Ketua DPRD sempat dijabat oleh politisi perempuan, yakni Elly Trisyanti yang merupakan wanita pertama menjabat sebagai Ketua DPRD di ibu kota Provinsi Sumatera Barat.

Secara aturan saat mengusulkan daftar calon legislatif, partai politik wajib menyertakan kuota perempuan minimal 30 persen. Tapi dalam praktik hasil pemilu, dunia legislator masih didominasi oleh kaum pria.

-
ilustrasi/ANTARA FOTO/Adnan Nanda

 

Koordinator Program Advokasi LP2M Sumbar Sri Ambarwati mengatakan bahwa minimnya kesempatan perempuan dalam legislator DPRD disebabkan oleh perilaku diskriminatif.

"Kendati sudah ada aturan kuota perempuan minimal 30 persen, tapi mulai dari proses pencalonan sudah banyak diskriminasi dan selama ini keberadaan perempuan tak lebih sekadar pemenuh kuota semata," ungkapnya.

Partai politik dinilai belum serius melakukan pengkaderan terhadap perempuan yang masih dijadikan sebagai pemenuhan regulasi kuota perwakilan 30 persen.

Bentuk diskriminasi perempuan dalam legislator DPRD terlihat dari pembatasan informasi dari partai politik untuk menjadi caleg yang potensial. Selain itu, fasilitas yang didapatkan saat caleg perempuan kampanye sangat minim dibandingkan dengan fasilitas kampanye caleg laki-laki.

Tak hanya itu, dalam surat suara biasanya nomor urut caleg perempuan jarang berada di nomor atas. Meskipun ada caleg perempuan yang diberikan nomor urut satu, ada narasi bahwa laki-laki lebih memiliki kapasitas.

-
ilustrasi/NTARA FOTO/Raisan Al Farisi

 

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X