Stafsus Presiden soal FPI: Mereka Menggunakan Agama untuk Keperluan Politik

- Sabtu, 12 Desember 2020 | 08:53 WIB
Kiri: Diaz Hendropriyono; kanan: Habib Rizieq Shihab. (ANTARA/Muhammad Iqbal)
Kiri: Diaz Hendropriyono; kanan: Habib Rizieq Shihab. (ANTARA/Muhammad Iqbal)

Kelompok Front Pembela Islam (FPI) belakangan terus menjadi sorotan semenjak kepulangan Rizieq Shihab dari Arab Saudi hingga teranyar enam anggota laskarnya ditembak mati oleh polisi.

Menanggapi hal itu, Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono mengemukakan bahwa gerakan radikalisme pada dasarnya adalah gerakan politik, bukan soal penegakan agama.

"Gak ada hubungannya dengan agama. Ini politik. Mereka menggunakan agama untuk keperluan politik. Ujung-ujungnya apa? Mereka mau masuk ke politik. Padahal negara kita sesuai Pancasila udah benar. Sudah sepakat dari tahun 45. Kalau mereka sampai masuk ke ranah politik, mereka jadi mempunyai kesempatan untuk mengganti ideologi. Jangan sampai gerakan radikal ini masuk ke politik. Mereka tidak berhenti di terror. Mereka ujung-ujungnya mau masuk ke politik," kata Diaz dalam podcast Deddy Corbuzier, 9 Desember 2020.

Diaz pun tak memungkiri bahwa bibit radikalisme di Indonesia ada meski jumlahnya tidak banyak. Ia merujuk hasil riset Pew reserach center yang mengatakan  bahwa 4 persen orang Indonesia mendukung ISIS.

"Berarti ada sekitar 11 juta. Lalu, ada World Value Survey, 30-39 persen orang Indonesia rasis seperti halnya negara Iran, India. Jadi ada bibit-bibit rasisme, radikalisme. Bahkan orang Indonesia 60 persen tidak suka dengan suku tertentu," kata anak ketiga dari tokoh militer, Abdullah Mahmud Hendropriyono itu.

Saat ditanya oleh Deddy kenapa pemerintah tidak bertindak tegas terhadap kelompok radikal dan yang merongrong Pancasila, Diaz tampak menjawab hati-hati, dan bilang bahwa pemerintah perlu melakukan upaya demokratis dan menghindari diri dari tudingan otoriter.

"Harus dengan cara-cara demokratis. Gak bisa kita jadi otoritarian," katanya.

Lebih lanjut, politikus PKPI itu juga menegaskan bahwa pada dasarnya, berpikir radikal boleh-boleh saja, sepanjang tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila. Ia menekankan bahwa Indonesia bukan hanya untuk golongan tertentu saja.

"Indonesia bukan untuk orang Islam aja. Bukan untuk orang Jawa saja. Walau saya juga Jawa dan Islam. Tapi semua orang Indonesia punya hak yang sama. Gak bisa karena dia agama Kristen ngurus IMB jadi susah. Masak cuma gara-gara protes azan kekerasan, langsung vihara dibakar. Itu aturan dari mana?" katanya.

Diaz juga memberi pemahaman bahwa keberagamaan seharusnya menjadi urusan personal seseorang dengan Tuhan, dan kita sebagai warga negara tidak perlu mencampuri apalagi merecoki keberagamaan orang lain.

"Agama itu seharusnya gak usah ditolol-tololin itu. Cukup between you and God. Ini jadi masalah ketika kita memikirkan orang lain. Orang mau salat, orang mau pakai baju apa, ya itu urusannya. Ngapain diurusin," imbuhnya.

FPI Tidak Punya SKT

Menurut Diaz, FPI ternyata tidak lagi memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri. SKT FPI, kata Diaz, tidak diperpanjang oleh Mendagri Tito Karnavian sejak tahun 2019, lantaran di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) mereka tidak tercantum Pancasila dan malah punya visi dan misi menerapkan khilafah Islamiyah.

"AD ART yang tidak mencantumkan Pancasila dan bicara mengenai Khilayah Islamiyah, tahun lalu SKT-nya tidak keluar di Kemendagri. Jadi sampai sekarang FPI belum ada SKT. Saya gak tahu ya, kalau belum ada SKT bisa bikin kegiatan apa enggak. Itu bisa ditanyakan ke Kemendagri," ujar Diaz saat berbincang dengan Deddy Corbuzier di podcast Deddy, 9 Desember 2020.

Ketika ditanya oleh Deddy soal kegiatan FPI yang sudah berlangsung sejak lama, Diaz bilang bahwa dulu FPI punya SKT.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran Toko di Mampang Semalam, 7 Orang Tewas

Jumat, 19 April 2024 | 14:25 WIB
X