Surpres RUU KPK dan Aroma Janji Palsu Jokowi

- Kamis, 12 September 2019 | 16:55 WIB
Pegawai KPK menggelar aksi unjuk rasa di kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/9). Dalam aksinya mereka menolak revisi UU KPK dan menolak calon pimpinan KPK yang diduga bermasalah (Antara/Sigid Kurniawan).
Pegawai KPK menggelar aksi unjuk rasa di kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/9). Dalam aksinya mereka menolak revisi UU KPK dan menolak calon pimpinan KPK yang diduga bermasalah (Antara/Sigid Kurniawan).

Gelombang penolakan revisi Undang-undang Nomor 20 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) terus bergelora. Masyarakat protes karena draf rancangan inisiasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu dianggap melemahkan lembaga antirasuah. 

Presiden Joko Widodo pun menjadi satu-satunya sandaran rakyat. Jokowi memiliki wewenang menghentikan pembahasan RUU KPK lebih dini, yakni dengan tidak menerbitkan surat presiden (surpres). 

Akan tetapi, sinyal yang diperlihatkan Jokowi bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menunjukkan gelagat setuju dengan RUU KPK. 

Jokowi menyadari ada sejumlah poin dalam draf RUU KPK yang menuai polemik. Dia kemudian memerintahkan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mempelajari draf itu, Senin (9/9). 

Dua hari berselang, daftar inventarisasi masalah (DIM) draf revisi UU KPK muncul dan diserahkan kepada Jokowi. Presiden pun akan mempelajari dokumen itu bersama jajaran menterinya sebelum mengambil sikap. 

"Saya ingin melihat dulu DIM-nya. Jangan sampai ada pembatasan-pembatasan yang tidak perlu sehingga independensi KPK menjadi terganggu. Intinya ke sana. Maka saya mau lihat dulu, nanti satu per satu kami pelajari, putusin, dan saya sampaikan," kata Jokowi di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/9) siang.

Namun, Jokowi tak butuh waktu lama mengambil keputusan. Pada Rabu malamnya, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, mengumumkan revisi UU KPK telah disetujui Presiden. 

-
(Antara/Akbar Nugroho Gumay).

Surpres yang berisi persetujuan RUU KPK diteken Jokowi dan dikirim ke DPR. Padahal, Pasal 49 ayat (2) UU No 12 tahun 2011 memberikan tenggat 60 hari kepada Presiden sebelum menyepakati usulan UU dari DPR.

Banyak pihak menyayangkan keputusan Jokowi mengeluarkan Surpres RUU KPK. Apalagi, surat itu muncul bertepatan dengan meninggalnya Presiden ke-3 RI, Bacharuddin Jusuf Habibie

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karus, menilai Indonesia berduka akibat dua peristiwa tersebut. 

"Dengan ditandatanganinya supres malam ini, makin menegaskan kalau hari ini Indonesia sangat sedih. Saya kira BJ Habibie meninggal dan (Jokowi) menyetujui RUU KPK menjadi duka kita yang mendalam," kata Lucius. 

"Justru karena di tangan manusia KPK bisa kuat, di tangan manusia juga lewat DPR dan Jokowi, mimpi memperkuat KPK bisa hancur mulai hari ini. Tragedi bagi bangsa kita melihat tindak tanduk elite yang koruptif," lanjut Lucius. 

Aroma Janji Palsu

Ketika Pilpres 2014, Jokowi merancang sembilan agenda prioritas (Nawa Cita). Salah satunya adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Namun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Rhamadana, menilai pernyataan Jokowi kala itu kontradiktif dengan fenomena saat ini. Aroma janji palsu pun merebak karena komitmen minim dari Presiden.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran Toko di Mampang Semalam, 7 Orang Tewas

Jumat, 19 April 2024 | 14:25 WIB
X