Isu Perpanjang Masa Jabatan Presiden Dinilai Sarat Tendensi Politik

- Sabtu, 30 November 2019 | 13:13 WIB
Dari kiri: Pakar Poltik LIPI Siti Zuhroh, Anggota DPR Fraksi PKS Nasi Djamil, Moderator Margi Syarief, Wasekjen PPP Ade Irfan Pulungan, Guru Besar Hukum Tata Negara IPDN Juanda. (Indozone/Mula Akmal)
Dari kiri: Pakar Poltik LIPI Siti Zuhroh, Anggota DPR Fraksi PKS Nasi Djamil, Moderator Margi Syarief, Wasekjen PPP Ade Irfan Pulungan, Guru Besar Hukum Tata Negara IPDN Juanda. (Indozone/Mula Akmal)

Guru Besar Hukum Tata Negara IPDN, Juanda menyatakan isu masa jabatan presiden yang dipersoalkan dan menjadi usulan dalam Amandemen UU Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 sarat tendensi politik.

"Saya lihat disini ada tendesius politik kelompok untuk 2 periode tidak cukup, supaya menjadi 3 periode. Kalau tiga periode artinya sudah menjadi hak dari setiap orang seperti Pak Jokowi bisa jadi nyalon, Pak SBY masih bisa dan seterusnya," ucapnya (30/11) dalam Diskusi dengan tema 'Membaca Arah Amandemen UUD 45' di Jakarta.

Dia pun mempertanyakan belum ada argumen yang jelas mengenai wacana tersebut. Bahkan para anggota DPR maupun MPR yang memunculkan gagasan tersebut, tak didukung dengan argumentasi dasar dan kuat.

"Soal jabatan presiden, ada yang mengatakan 2 periode atau 3 periode. 3 periode argumentasinya apa? argumentasi mendasarnya apa?," tanyanya.

Juanda bahkan menilai munculnya wacana soal jabatan presiden ini sebagai bentuk ketidakseriusan elite mengurus negara. Dimana menurutnya, wacana yang dianggap tepat ialah dibatasi 1 periode dengan masa jabatan 7-8 tahun, tentu dengan aturan yang jelas. Dia mengatakan hal tersebut dalam konteks presiden mengurus negara secara ideal.

"Dengan waktu tepat saya kira bisa saja 7 tahun atau 8 tahun 1 periode misalnya. Kalau memang, tidak usah lah otak-atik masalah jabatan, tetap 2 periode tinggal mengatur dan memenej hal-hal yang kurang tepat," katanya.

Artikel menarik lainnya:

Editor: Fahmy Fotaleno

Rekomendasi

Terkini

X