Hidup di Tengah Pandemi Corona New York, Mahasiswa Ini Rindu Tanah Air

- Kamis, 9 April 2020 | 14:09 WIB
Mahasiswi Indonesia di New York, Angelia Merici Adem (Dok Pribadi)
Mahasiswi Indonesia di New York, Angelia Merici Adem (Dok Pribadi)

Amerika Serikat tengah kualahan dengan lonjakan kasus virus corona. Bahkan, jumlah kematian pasien virus corona di kota New York melampaui jumlah korban tewas dalam serangan 11 September 2011 atau dikenal dengan 9/11.

Berdasarkan data yang dihimpun dari situs Worldometers per Rabu (9/4/2020), sebanyak 6.268 jiwa melayang akibat terinfeksi virus corona di kota New York. Sementara jumlah kasus positif mencapai 151.171. Bahkan kini, selain mendirikan rumah sakit darurat, pemerintah kota New York juga membuka opsi memakamkan para jenazah pasien corona di Central Park, sebuah taman terkenal di kota itu.  

-
Rumah Sakit Darurat Samaritan didirikan di Central Park, Manhattan, New York selama wabah virus corona, Rabu (8/4/2020). (REUTERS/Mike Segar)

Melihat kota yang ditinggali menjadi episentrum wabah corona, sontak membuat rasa takut pemilik nama lengkap Angelia Merici Adem, naik berkali-kali lipat dari biasanya. Ia melihat betul fase di mana korban mulai banyak berjatuhan dan sangat berduka dengan peristiwa itu. 
Faktanya, jalanan di kota New York hampir tiap 10 menit sekali dilalui oleh ambulans yang berlalu lalang mengurus jenazah korban virus corona.

"Perasaan, sudah campur aduk, takut, khawatir, parno. Entah apapun yang terjadi, pasrah saja sama Yang Maha Kuasa," ujar Angel kepada Indozone, Kamis (9/4/2020).  

Beruntungnya, Angel tinggal bersama tiga orang temannya yang juga berasal dari Indonesia. Hal itu membuatnya lebih mudah untuk saling berbagi suka duka di tengah wabah corona yang merebak. Aksi saling menguatkan satu sama lain juga dirasakan Angel dalam komunitas sesama mahasiswa Indonesia di Columbia University. Mereka saling berkirim pesan dan memberikan dukungan satu sama lain. Menurutnya, aksi saling menguatkan ini sangat berarti di tengah keharusan #dirumahaja yang harus dijalaninya saat ini.

"Secara emosional, ini sangat membantu. Beberapa teman bilang talk to me anytime you need. Ini menurut saya adalah dukungan yang paling penting karena saat “mengunci diri” di dalam rumah sangat mudah untuk merasa tertekan atau depresi. Jadi butuh teman atau orang lain untuk bercerita. Jadi merasa beruntung memiliki teman yang saling support," ungkap mahasiswi semester dua Columbia University itu.

-
Angel bersama teman-teman Indonesia di Kota New York (Dok Pribadi)

Di sisi lain, keharusan #dirumahaja membuat mahasiswi jurusan Education Policy ini rindu dengan kampung halamannya di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebab, menurut Angel, menghabiskan waktu di rumah membuat emosinya tidak stabil sehingga selalu teringat keluarga di Indonesia.  

"Bukan kangen lagi, tapi sudah benar-benar mau pulang. Ini membuat saya tidak stabil secara emosi sehingga selalu teringat rumah dan keluarga di Indonesia," katanya.

Ia pun ingin rasanya pulang ke Tanah Air kembali ke tengah keluarganya, namun rasa itu harus ia pendam sejenak dan berpikir lebih matang. Ia khawatir justru akan membawa virus tersebut ke Manggarai, Flores, di mana saat ini kota tersebut belum ada kasus corona. Selain itu, menurut Angel, bukan hal yang mudah menjalani perkuliahan jarak jauh antara Flores dengan New York. Perbedaan waktu 12 jam tentu akan menyulitkannya secara fisik dalam mengikuti perkuliahan online. Ini tentu akan merugikannya secara akademik. Untuk mengobati rasa rindunya dengan keluarga, Angel memanfaatkan teknologi. Dengan video call, ia bisa terhubung dengan keluarga dan teman-temannya di Indonesia. 

"Untungnya hidup di zaman teknologi sehingga masih bisa video call-an dengan keluarga atau teman-teman di Indonesia," tuturnya.

Sejak wabah corona terus merebak, aktivitas perkuliahan Angel dialihkan menjadi perkuliahan virtual. Sudah hampir satu bulan ia menjalani perkuliahan tanpa tatap muka langsung dengan dosen dan teman-teman. Menurutnya, tidak ada perbedaan signifikan antara kuliah online dan tatap muka. Sebab para dosen tetap totalitas saat mengajar. Ia juga sangat mengapresiasi saat proses perkuliahan online tidak hanya sebatas transfer ilmu semata, namun juga memperhatikan kesehatan mental mahasiswanya. Angel dan teman-temannya di kelas diberikan kelonggaran waktu untuk mengumpulkan tugas kuliah. Selain itu, ada juga sesi curhat untuk berbagi cerita saat menghadapi situasi pandemi corona seperti sekarang ini. 

-
Angel bersama teman-teman Indonesia di Columbia University, New York, Amerika Serikat (Dok Pribadi)

"Dosen-dosen saya sangat mengutamakan kesehatan mental mahasiswanya. Mereka memberikan kelonggaran untuk deadline tugas, misalnya, atau membuka portal curhat untuk berbagi cerita saat mengahadapi situasi seperti sekarang ini. Jadi dukungan emosionalnya didapat dari kelas juga. Sehingga kami tidak terlalu merasa insecure," ungkap Angel. 

Namun tak dipungkiri, sambung Angel, perkuliahan online memiliki sejumlah kelemahan, seperti kurang spontan saat berdiskusi. Meski demikian, para dosen tetap berusaha maksimal dan menciptakan kondisi belajar yang kondusif serta interaktif, sehingga prosesnya tetap mirip seperti di kelas biasa. Dengan demikian, Angel pun masih tetap maksimal menjalani proses belajar. 

Angel memaparkan, sejak menjalani perkuliahan online di tengah wabah corona, pihak kampusnya mengubah sistem penilaian dari sistem penilaian berdasarkan huruf A, B, C menjadi sistem lulus atau gagal. Namun, hal ini tetap memperhatikan pilihan mahasiswa sendiri. Jika mahasiswa tetap mau penilaian berdasarkan huruf, maka nantinya dalam transkrip nilai akan tercantum nilai huruf. Sementara, yang memilih penilaian lulus atau gagal, maka di transkrip nilai pun akan tertulis demikian. 

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X