Pengamat: Kebijakan New Normal Harus Ditimbang dengan Data Objektif

- Minggu, 7 Juni 2020 | 15:35 WIB
Tukang cukur memakai Alat Pelindung Diri (APD) buatan sendiri saat mencukur rambut pelanggannya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Selasa (28/4/2020). (INDOZONE/Arya Manggala)
Tukang cukur memakai Alat Pelindung Diri (APD) buatan sendiri saat mencukur rambut pelanggannya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Selasa (28/4/2020). (INDOZONE/Arya Manggala)

Angka pasien terinfeksi Covid-19 pada Sabtu (6/6/2020) menjadi 30.514 bertambah 993 pasien mengindikasikan bahwa penyebaran virus masih terjadi secara massif. Ini berarti menjadi masalah bila pemerintah menerapkan new normal dalam waktu dekat.

Terkait dengan penambahan jumlah pasien Covid-19, pengamat sosial Universitas Indonesia, Devi Rahmawati mengatakan kebijakan pemerintah terkait new normal tentu akan mempertimbangkan situasi objektif berupa perkembangan data yang ada, sehingga kebijakannya akan sesuai dengan perkembangan situasi yang ada.

"Jadi kita tidak perlu merasa bahwa pemerintah kok, selalu mengubah kebijakan? Tidak. Karena kita harus bersandar pada kondisi objektif yaitu data. Kalau kemudian datanya meningkat, ya sudah. Jangan diterapkan kebijakan new normal-nya," kata Devi saat dihubungi Indozone di Jakarta, Minggu (7/6/2020).

-
Umat Islam menunaikan salat Jumat berjamaah dengan menerapkan jaga jarak di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Jumat (5/6/2020). (INDOZONE/Arya Manggala)

Hal yang perlu dipersiapkan dan diperhatikan pemerintah saat ini yakni infrastruktur dan kultur masyarakat menuju new normal. Mengapa demikian? Karena persiapan infrastruktur dan kultur masyarakat membuat mereka mampu menjaga ketertiban dan secara sadar, tahu bahwa kita dalam kondisi yang tidak normal.

"Hal itu yang kita harus fokus. Karena misalnya, sekolah dibuka mal dibuka. Apakah di setiap ruangan kelas di setiap pusat perbelanjaan itu sudah ada hand sanitizer, sabun, masker lalu APD dan segala macamnya?" tanyanya.

"Lalu bagaimana mengatur arus lalu lintasnya, misalnya sekolah, apakah kemudian ganjil genap masuknya. Ketika ganjl genap, guru kemudian harus bekerja lebih ekstra dong. Karena murid yang sama masuk beda hari, berarti ada penambahan kelas, apakah demikian? Ini kan, hal-hal teknis yang sifatnya terkait struktur atau sistem yang harus dibereskan. Jadi yang pertama strukturnya yang harus disipkan," bebernya.

Untuk kultur masyarakat harus terus mendapatkan sosialisasi untuk mematuhi segala prosedur kesehatan dan budaya baru seperti mengantre agar terhindar dari kerumunan yang bisa saja menjadi penyebab sesorang terpapar virus.

"Kedua, kultur. Harus disosialisaikan kepada masyarakat bahwa sekarang ada kultur baru seperti mengantre. Itu harus dipahami. Nah, kalau memang fakta dan data menunjukan bahwa ada peningkatan korban, ya bisa jadi. Saya yakin pemerintah akan mengevaluasi dan belum tentu new normal akan dilaksanakan," ujarnya.

Ia yakin dengan kemudahan akses data jumlah korban, membuat masyarakat dapat paham dengan kebijakan pemerintah karena masyarakat tentu tidak ingin situasi Tanah Air menjadi seperti Amerika yang jumlah pasien terinfeksi menembus 1 juta pasien.

"Sekarang lebih mudah karena data lebih konkrit. Sampai jumlah orang yang sakit itu, terlihat dan kita bisa mengakses data itu. Jadi harusnya tidak ada protes yang berarti dari masyarakat. Tinggal kita sebagai masyarakat menonton sendiri. Loh, apa anda siap nih, angkanya terus bertambah," pungkasnya.


Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

X