Pelajar Ini Kritik Kebijakan Belajar Daring, Kalau Hanya untuk Pintar Google Lebih Pintar

- Senin, 10 Agustus 2020 | 10:13 WIB
Kiri: Mendikbud Nadiem Makarim (Instagram/@nadiem_makarim__) / Kanan: Siswa kritik belajar daring (Screenshot)
Kiri: Mendikbud Nadiem Makarim (Instagram/@nadiem_makarim__) / Kanan: Siswa kritik belajar daring (Screenshot)

Pandemi Covid-19 menyebabkan berbagai segi kehidupan ikut berubah. Sekarang, warga harus memakai masker kemana-mana dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Bisnis pariwisata terdampak karena jumlah turis yang berkunjung berkurang. Dunia pendidikan juga merasakan efeknya, yang tadinya kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara tatap muka, kini dilakukan dari jarak jauh atau daring (online).

Hal ini diterapkan untuk menghindarkan para murid terinfeksi Covid-19. Namun, kebijakan ini menuai kritik dari sejumlah kalangan karena dinilai tidak efektif.

Mulai dari orangtua yang merasa kerepotan harus menemani anaknya belajar di rumah, kurangnya infrastruktur jaringan dan internet, serta murid yang mengaku lelah hanya diberikan tugas berturut-turut.

Berkaitan dengan hal ini, tengah viral video seorang pelajar yang mengkritik kebijakan pembelajaran secara daring atau disebut juga Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini.

-
Yonas Kedeikoto (15) (kiri) dan Jekson Pigome (12) mengikuti proses belajar mengajar secara daring di Kota Jayapura, Papua, Senin (10/8/2020). (ANTARA FOTO/Indrayadi TH)

Dalam video tersebut, terlihat pelajar laki-laki itu berbicara dengan tenang dan santun di ruangan yang berisi sejumlah orang dewasa.

Pelajar ini mengaku bahwa dia sering mengikuti kegiatan nasional dan punya banyak teman dari berbagai penjuru Indonesia. Dia kemudian menanyakan pendapat teman-temannya yang ada di pelosok, terkait belajar daring.

"Ternyata yang dari Gorontalo, Lampung, mereka pun memiliki keluhan yang sama. Mereka ada kendala, pertama di gadget, yang kedua di kuota, yang ketiga sinyal dan disana sering mati lampu," kata pelajar tersebut.

Fakta inilah yang menjadi dasar kritikannya. Dia meminta pemerintah tidak menjadikan Jakarta sebagai patokan dalam membuat kebijakan. Di Jakarta segala fasilitas tersedia lengkap dan murah, tidak seperti daerah pelosok Indonesia.

Teman-temannya curhat bahwa mereka hanya diberikan subsidi pulsa sebesar Rp25 ribu, sedangkan harga kuota internet di sana mahal. Tidak seperti Jakarta dimana dengan uang Rp25 ribu bisa mendapatkan kuota berlimpah.

Kritikannya berlanjut soal efektivitas PJJ. Menurutnya, tanpa kehadiran seorang guru secara langsung untuk membentuk karakter para siswa, maka ruh pendidikan seakan menghilang.

-
Siswa sekolah di pelosok Kalimantan Selatan kesulitan untuk mengikuti proses belajar mengajar daring selama akibat sulitnya akses internet (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

"Kita kurang efektif tidak seperti di sekolah. Di sekolah kita dipantau langsung sama guru. Guru itu kan digugu dan ditiru. Sedangkan kalau kita belajar cuma mau pintar, Google lebih pintar daripada sekolah, menurut saya," katanya.

Jika sistem pendidikan hanya untuk membuat siswa pintar, maka lebih baik mereka belajar kepada Google. Di Google, segala informasi bisa diakses, tidak seperti guru yang hanya menguasai satu mata pelajaran saja.

"Iya, semua ada di Google. Kalau guru sejarah, ya sejarah saja. Ditanya matematika, ya tanya guru matematika. Begitu. Tapi kalau Google tahu semua dia. Itu menurut saya," katanya.

Halaman:

Editor: Zega

Rekomendasi

Terkini

X