Jika Pilkada 2022 dan 2023 Ditiadakan, Kualitas Demokrasi di Indonesia Dinilai akan Rusak

- Selasa, 2 Februari 2021 | 10:35 WIB
Ilustrasi pilkada. (ANTARA FOTO/Irfan Anshori)
Ilustrasi pilkada. (ANTARA FOTO/Irfan Anshori)

Pemerintah memberi sinyal agar menolak revisi Undang-Undang Pemilu terutama mengenai pelaksanaan Pilkada 2022-2023. Penyelenggaraan Pilkada 2022-2023 tersebut pun menjadi perdebatan beberapa fraksi di DPR.

Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago merasa heran apabila pemerintah sudah memberi sinyal agar Pilkada dilakukan secara serentak nasional di tahun 2024.

“Bagaimana mungkin secara akal sehat atau commen sense pemerintah mendukung dan memberikan sinyal pilkada serentak hanya di tahun 2024, tidak ada penyelenggaraan pilkada serentak di tahun 2022-2023,” kata Pangi kepada Indozone, Selasa (2/2/2021).

Menurut Pangi, dengan tidak adanya Pilkada di tahun 2022 dan 2023 pun akan ada 272 kepala daerah yang dijabat Pelaksana Tugas (Plt).  Justru hal ini akan berpotensi merusak kualitas demokrasi.

“Ini yang merusak kualitas demokrasi, disharmoni, disorder, padahal setahu saya, boleh di koreksi prasyarat negara demokratis yakni  terjadi pertukaran elite berkuasa/kepala daerah secara reguler,” tegas dia.

Baca Juga: Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat Minta Moeldoko Jujur: Anda yang Mendatangi Mereka

Disisi lain, jika pemerintah tetap bersikeras untuk menolak melakukan revisi undang-undang pemilu terutama yang berkaitan dengan keserentakan ini, maka menurutnya wajar saja bila publik layak curiga kepentingan apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan.

“Faktanya pada tahun 2022, terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023. Para kepala daerah yang habis masa jabatannya ini adalah hasil pilkada 2017 dan 2018, itu artinya ada 272 plt yang akan menduduki posisi kepala daerah,” ucap dia.

“Apakah presiden merasa belum cukup kuat dengan kekuasaan atau legitimasi yang dimiliki  saat ini, sehingga berambisi mengendalikan kepala daerah atau tegak lurus dengan presiden melalui plt yang ditunjuk kemendagri, sementara kita tahu kemendagri adalah pembantu presiden yang ditunjuk presiden?,” tambahnya.

Disisi lain, ia mempertanyakan sikap Jokowi jika nantinya mendukung agar Pilkada dilakukan di tahun 2024. Bahkan Pangi melihat sikap Presiden Jokowi yang tak mendukung pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 berbeda dengan saat mengupayakan terselenggaranya Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19.

“Atau karena anak mantu presiden sudah selesai mengikuti perhelatan pesta pilkada, dan memenangkan pilkada Solo dan Medan sehingga presiden tidak mendukung all out perhelatan pilkada serentak di tahun 2022-2023,” tutur dia.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

X