FPI Tak Punya SKT karena Visi Misi Khilafah, Stafsus: Tidak Boleh Ada di Indonesia

- Sabtu, 12 Desember 2020 | 08:38 WIB
Kiri: Diaz Hendropriyono; kanan: Habib Rizieq Shihab. (ANTARA/Muhammad Iqbal)
Kiri: Diaz Hendropriyono; kanan: Habib Rizieq Shihab. (ANTARA/Muhammad Iqbal)

Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono angkat bicara soal keberadaan Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia, yang belakangan santer diberitakan semenjak kepulangan Rizieq Shihab dari Arab Saudi hingga teranyar enam anggota laskarnya ditembak mati oleh polisi.

Menurut Diaz, FPI ternyata tidak lagi memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri. SKT FPI, kata Diaz, tidak diperpanjang oleh Mendagri Tito Karnavian sejak tahun 2019, lantaran di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) mereka tidak tercantum Pancasila dan malah punya visi dan misi menerapkan khilafah Islamiyah.

"AD ART yang tidak mencantumkan Pancasila dan bicara mengenai Khilayah Islamiyah, tahun lalu SKT-nya tidak keluar di Kemendagri. Jadi sampai sekarang FPI belum ada SKT. Saya gak tahu ya, kalau belum ada SKT bisa bikin kegiatan apa enggak. Itu bisa ditanyakan ke Kemendagri," ujar Diaz saat berbincang dengan Deddy Corbuzier di podcast Deddy, 9 Desember 2020.

Ketika ditanya oleh Deddy soal kegiatan FPI yang sudah berlangsung sejak lama, Diaz bilang bahwa dulu FPI punya SKT.

"Dulu ada SKT-nya. Tidak adanya sejak 2019. Tidak diperpanjang oleh Pak Tito," katanya.

Diaz pun bilang bahwa jika AD/ART FPI itu tidak diubah, maka FPI tidak boleh ada di Indonesia.

"Hanya ada satu kata utk mereka yang mau mengganti Pancasila: LAWAN !! Jika AD/ART tidak diubah, maka tidak ada ruang untuk mereka di negeri ini," tulisnya di Instagram.

-
Tangkapan layar AD ART FPI.

Diaz juga bicara soal maraknya gerakan radikalisme di Indonesia, yang menurutnya, mulai terjadi setelah reformasi 1998.

"Ada kebebasan yang kebabalasan. Mulai dari situ tokoh-tokoh seperti Abdullah Sungkar, Abu Bakar Baasyir muncul. Orang-orang gak berani waktu zamannya Pak Harto. Setelah era reformasi, kalangan radikal ini punya tempat. Ditambah dengan ada inisiasi yang memungkinkan mereka bertemu dengan jaringan internasional seperti Al-Qaeda," ungkap Diaz.

Diaz pun membeberkan bahwa pimpinan Alqaeda sempat berada di Indonesia beberapa waktu lalu. Hal itu, kata dia, menjadi peringatan bagi Indonesia untuk mewaspadai radikalisme. 

"Ayman al-Zawahiri dengan Omar Al-Faruq dari Al-Qaeda muter-muter di Indonesia," katanya.

Lebih lanjut, Diaz mengemukakan bahwa gerakan radikalisme pada dasarnya adalah gerakan politik, bukan soal penegakan agama.

"Gak ada hubungannya dengan agama. Ini politik. Mereka menggunakan agama untuk keperluan politik. Ujung-ujungnya apa? Mereka mau masuk ke politik. Padahal negara kita sesuai Pancasila udah benar. Sudah sepakat dari tahun 45. Kalau mereka sampai masuk ke ranah politik, mereka jadi mempunyai kesempatan untuk mengganti ideologi. Jangan sampai gerakan radikal ini masuk ke politik. Mereka tidak berhenti di terror. Mereka ujung-ujungnya mau masuk ke politik," kata anak ketiga dari tokoh militer, Abdullah Mahmud Hendropriyono itu.

Diaz pun tak memungkiri bahwa bibit radikalisme di Indonesia ada meski jumlahnya tidak banyak. Ia merujuk pada hasil riset Pew reserach center yang mengatakan  bahwa 4 persen orang Indonesia mendukung ISIS.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X