13 Lulusan Akpol '91 Duduki Jabatan Penting di Polri, Dua Terlibat Kasus Djoko Tjandra

- Minggu, 19 Juli 2020 | 12:23 WIB
Kolase foto Brigjen Nugroho Slamet Wibowo (kiri), Djoko Tjandra (tengah), dan Prasetijo Utomo (kanan). (Foto: Istimewa)
Kolase foto Brigjen Nugroho Slamet Wibowo (kiri), Djoko Tjandra (tengah), dan Prasetijo Utomo (kanan). (Foto: Istimewa)

Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1991 dianggap istimewa. Anggapan itu berangkat dari fakta bahwa 13 orang di antaranya menduduki jabatan strategis di tubuh institusi Polri.

Namun sayangnya, dua di antaranya terlibat kasus surat jalan terpidana kasus Bank Bali Djoko Tjandra. Mereka tak lain adalah Brigjen Nugroho Slamet Wibowo (51) dan Prasetijo Utomo (50). Keduanya telah dicopot dari jabatannya karena kasus tersebut. Kedua bahkan terancam dipidanakan karena kasus itu.

"Jadi pertanyaan memang, kenapa dua jenderal dari lulusan Akpol 1991 bisa terlibat persekongkolan jahat dalam memberi keistimewaan kepada buronan kelas kakap Djoko Tjandra hingga akhirnya mereka dicopot dari jabatannya dan terancam diproses pidana. Kenapa kedua jenderal Akpol 91 ini nekat mempertaruhkan harga diri dan jabatannya hanya untuk melindungi buronan Joko Tjandra," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam keterangan pers yang diterima Indozone.id, Minggu (19/7/2020).

Keheranan Neta bertambah karena teman-teman satu angkatan mereka menduduki jabatan penting. Sebut saja Komjen Listyo Sigit Prabowo yang menjabat sebagai Kabareskrim. Selain itu ada empat orang yang menjadi kapolda; mereka adalah Irjen M Fadil, Irjen Wahyu Widada, Irjen M Iqbal, dan Irjen Merdisyam. Di luar itu, ada Irjen Prabowo Argo yang menjabat Kadiv Humas, dan Brigjen Syahar Diantono di SDM Polri. 

Di era Kapolri Idam Azis, lulusan Akpol 91 memang mendapat keistimewaan karena memegang jabatan strategis di Polri. Selain itu, nama nama ke 13 alumni Akpol 91 itu cukup populer di masyarakat, di antaranya ada Brigjen Krishna Murti, Brigjen Yusri Yunus dan lain-lain," kata Neta.

Lulusan Akpol 91 ada sebanyak 123 orang. Di urutan pertama Batalyon Bhara Daksa 91 itu terdapat nama K Yani Sudarto kelahiran September 1969 dan urutan terakhir adalah Krishna Murti kelahiran Januari 1970. Sementara dua brigjen yang terkena kasus Joko Tjandra, Brigjen Nugroho Wibowo berada di urutan 81 dan Brigjen Prasetijo Utomo di urutan 53, sementara Kabareskrim Sigit menempati urutan 84.

Lulusan Akpol 91 yang termuda adalah Ruben Verry kelahiran Agustus 1970 dan paling tua Chairul Azis kelahiran Januari 1967. Sedangkan Adhimakayasa (lulusan terbaik) Akpol 91 adalah Irjen Wahyu Widada.

"Begitu banyak Akpol 91 di posisi strategis, kenapa kedua brigjen itu tega mencoreng citra Promoter Polri. Akibat ulah kedua jenderal Akpol 91 ini, harkat dan martabat Bangsa Indonesia mereka gadaikan. Polri telah dijadikan agunan oleh kedua jenderal Polri ini untuk kepentingannya. Kasus ini benar benar memprihatinkan dan sangat memilukan," kata Neta.

IPW mendesak kasus ini diusut tuntas dan diurai anatomi kasusnya. Termasuk soal kemungkinan keterlibatan "orang hebat" lain di belakang kedua jenderal alumni Akpol 91 itu. 

"Sebab tidak ada institusi lain yang berwenang mengurus red notice buronan yang ada di luar negeri selain Polri. Sebab itu ketika ada jenderal di NCB Interpol Polri bermain main dengan red notice buronan, atasannya harus bertanggung jawab dan dicopot dari jabatannya. Selain itu harus diungkap apa alasan dari kedua jenderal Akpol 91 itu mencabut red notice buronan Djoko Soegiharto Tjandra, hingga buronan tersebut bebas keluar-masuk Indonesia. Apakah ada gratifikasi atau hal lain.," ujar Neta.

Supaya berjalan objektif dan independen, Neta mendesak supaya pengusutan kasus Djoko Tjandra ini dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak ada hubungannya dengan Polri. Dalam hal ini, Neta menyarankan supaya Presiden Jokowi memerintahkan Menkopolhukam Mahfud MD memimpin penyelidikan kasus tersebut.

"Tidak mungkin 'jeruk makan jeruk'. Untuk itu Presiden Jokowi perlu membentuk Tim Pencari Fakta Independen atau minimal memerintahkan Menkopolhukam Mahfud MD. Dengan demikian Mahfud bisa meneliti dan berkoordinasi dengan Polri terkait pencabutan red notice buronan kelas kakap Indonesia tersebut," katanya.

IPW meyakini bahwa jenderal Polri yang terlibat dalam persekongkolan jahat melindungi Joko Tjandra itu memiliki kepentingan sendiri maupun kepentingan oknum lain hingga harus mencabut red notice buronan Djoko Tjandra dari Interpol dan memberi keistimewaan lain pada buronan kakap itu. 

"Kasus ini harus segera dituntaskan karena di luar negeri saat ini masih ada 38 buronan lain, seperti Joko Tjandra. Jangan sampai ke 38 buronan ini kembali berkolusi dengan para jenderal polisi untuk mendapatkan keistimewaan dan karpet merah," imbuh Neta.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Gempa 5,3 Magnitudo Guncang Gorontalo Dini Hari

Kamis, 25 April 2024 | 14:57 WIB
X