PKS Kritik Pencabutan RUU Pemilu dari Prolegnas 2021

- Rabu, 10 Maret 2021 | 10:01 WIB
Ilustrasi logo PKS. (Instagram/@pk_sejahtera).
Ilustrasi logo PKS. (Instagram/@pk_sejahtera).

Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, menyayangkan pencabutan RUU tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. 

Menurut Bukhori, terdapat beberapa catatan kritis Fraksi PKS terkait keputusan pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR yang sepakat mengeluarkan RUU tersebut dari prolegnas prioritas 2021. Seperti halnya sistem Presidential Threshold dengan ambang batas tinggi tidak sesuai dengan maksud asli dari UUD 1945.

“Sistem Presidential Treshold dengan ambang batas tinggi terbukti tidak sesuai dengan Original Intent atau maksud asli dari UUD 1945. Sebab, sistem ini menghalangi kesempatan kita untuk memilih kader terbaik bangsa karena pada akhirnya kontestasi terbatas pada 2 paslon semata,” ujar Bukhori kepada wartawan, Rabu (10/3/2021).

Bukhori memaparkan konsekuensi dari tingginya Presidential Treshold adalah pembelahan sosial rentan terjadi. Bahkan, nuansa ketegangan itu masih bisa kita rasakan sampai sekarang sebagai ekses dari Pemilu 2019 silam. 

Oleh karena itu, menurutnya dibutuhkan penyempurnaan mendasar terhadap sistem pemilu eksisting melalui revisi karena secara sosiologis sangat tidak sehat untuk memelihara iklim kerukunan bangsa

Lalu dia menyebutkan bahwa sistem pemilu juga turut menentukan desain kepemimpinan nasional. Ia menjelaskan, penurunan Presidential Treshold melalui revisi UU Pemilu akan membuka ruang lebih luas untuk lahirkan banyak pemimpin segar. Hal ini senada dengan kehendak masyarakat yang menginginkan pemimpin yang berkualitas dan demokratis.

Baca Juga: Kurangi Kesenjangan Gender, Kominfo Dorong Keterampilan Digital Perempuan Indonesia

“Kita memiliki banyak tokoh negarawan yang layak menjadi pemimpin di tingkat nasional. Mulai dari ulama, cendekiawan, kepala daerah. Kami ingin mendorong demokratisasi yang lebih substantif dalam proses pemilihan Presiden untuk memutus rantai oligarki, salah satunya melalui ikhtiar revisi ini,” beber dia.

Dikatakan Bukhori Pemilu dengan sistem yang lebih inklusif memungkinkan setiap lapisan bangsa berhak untuk bisa dipilih sebagai Presiden, terangnya. Ketua DPP PKS ini mencemaskan penerapan UU Pemilu eksisting akan memunculkan banyak kursi kosong di level kepemimpinan daerah ketika pilkada digelar serentak pada 2024. 

Dengan demikian, pilkada ini turut membawa konsekuensi politis berupa kekosongan legitimasi kepala daerah di sebanyak 271 daerah akibat masa bakti kepala daerah eksisting yang akan selesai pada 2022 maupun 2023. 

“Masa kepemimpinan para kepala daerah eksisting akan selesai masa jabatannya pada rentang 2022-2023. Artinya, akan ada krisis legitimasi selama kurun 1 sampai 2 tahun karena yang memimpin adalah Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah seraya menanti kepala daerah terpilih hasil pemilihan serentak nasional tahun 2024,” jelas dia.

Padahal, lanjut Bukhori, kewenangan dari Plt ini lebih terbatas, khususnya dalam mengambil keputusan atau tindakan strategis. Sebab, mereka tidak memiliki keleluasaan mengambil langkah cepat apabila harus dihadapkan dalam situasi kritis.

“Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran,” ucap dia.

Diketahui sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI resmi mengeluarkan revisi Undang-Undang Nomor 7 tahun 20217 tentang Pemilu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Keputusan tersebut setelah Baleg DPR menggelar rapat bersama pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta DPD RI.

Halaman:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

X