Ribuan Mahasiswa Indonesia di China Terjerat Praktik Kuliah Kerja

- Senin, 20 Mei 2019 | 10:39 WIB
ANTARA News/M. Irfan Ilmie
ANTARA News/M. Irfan Ilmie

Tercatat sedikitnya ada sekitar 5.000 mahasiwa asal Indonesia di China dan Taiwan yang terjerat praktik kuliah kerja yang tidak proposional. Jumlah tersebut berdasarkan temuan dari Satuan Tugas Anti-Kerja Paksa Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania.

Satgas yang beranggotakan perwakilan mahasiswa Indonesia di China, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang ini telah memverifikasi para mahasiswa yang menjalani program ini selama empat bulan, sejak Februari 2019," kata Galant Albarok, selaku Koordinator PPI Asia-Oseania, melansir ANTARA.
 
Pihak Satgas menemukan adanya sistem yang terorganisir dalam perekrutan calon mahasiswa di Indonesia hingga penempatan di negara tujuan dan kemudian memperlakukan mereka dengan semena-mena.
 
Kasus yang terjadi di China dan Taiwan saat ini dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab karena melihatnya tingginya minat calon mahasiswa asal Indonesia yang melanjutkan studi ke kedua negar tersebut.

"Kami mengimbau para mahasiswa Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menentukan program kuliah ke luar negeri," katanya dia.

Dia juga mengungkapkan, misalnya salah satu agen penyalur mahasiswa di Surabaya yang menargetkan para lulusan SMA kemudian mendapatkan iming-iming kuliah sambil kerja.
 
Agen itu juga membantu seluruh pengurusan dokumen dan kemudian ditempatkan di salah satu kota di wilayah selatan China dengan memakai visa “study working”.
 
"Setibanya di sana, ada pihak yang menjemput dan membawa para korban ke sebuah kampus, namun para calon diminta untuk menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu mereka dibawa ke sebuah pabrik," kata Galant.
 
Selama kerja kuliah, para korban akan menjalani kuliah selama dua hari dan bekerja selama lima hari. Selain itu, ada pula absensi dan pemotongan gaji jika orang yang bersangkutan tidak berhalangan hadir. Dan mereka, rata-rata diwajibkan kerja lembur hingga pukul 02.00.
 
Gaji yang mereka terima setiap bulannya berjumlah 500–1.000 RMB atau sekitar Rp 1–2 juta kemudian dipotong uang kuliah 700 RMB atau sekitar Rp 1,4 juta.
 
"Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan mendapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik," ujarnya.
 
Hal yang sama juga terjadi di Taiwan. Oleh karena itu, PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kunjungan langsung ke universitas dan mahasiswa yang saat ini sedang menjalankan program itu.
 
"Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya," kata Galant.

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X