Wacana Tembakau Masuk Kategori Adiktif, Pemerintah Disarankan Ubah Sistem Insentif Petani

- Selasa, 30 Mei 2023 | 15:49 WIB
Pemerintah disarankan mengubah sistem insentif bagi petani menyusul rencana memasukkan tembakau pada kategori zat adiktif lain di RUU Omnibus kesehatan, mengingat nilai ekonomis tembakau yang sangat tinggi. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)
Pemerintah disarankan mengubah sistem insentif bagi petani menyusul rencana memasukkan tembakau pada kategori zat adiktif lain di RUU Omnibus kesehatan, mengingat nilai ekonomis tembakau yang sangat tinggi. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Wacana untuk memasukkan tembakau dalam kategori yang serupa dengan zat adiktif lain seperti narkotika, pada Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Kesehatan, dinilai akan memicu persoalan di kalangan petani. Karena itu, pemerintah disarankan untuk mengubah sistem insetif bagi petani.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyampaikan, pengalihan petani tembakau untuk menanam tanaman pangan tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, selain permasalahan pada konversi lahan, terdapat masalah yang lebih krusial, yakni insentif petani.

Menurutnya, saat ini pertanian di Indonesia telah memiliki tantangan tersendiri. Selain persoalan lahan, hal penting lainnya adalah ihwal sistem insentif di sektor pertanian.

"Saat ini, nilai tukar petani sangat rendah. Tidak ada insentif bagi petani. Semakin sedikit atau bahkan tidak ada orang yang mau menjadi petani. Sektor pertanian identik dengan kemiskinan,” ujar Piter, Jumat (2/6/2023).

Baca Juga: Gaduh Tembakau Setara Narkoba di RUU Kesehatan, Kemenkes Buka Suara

Dia juga menekankan, selagi pemerintah belum mengubah sistem insentif bagi petani, maka ekstensifikasi produksi pangan nasional akan sulit diwujudkan secara optimal.

"Mengubah lahan perkebunan tembakau menjadi lahan perkebunan pangan tidak akan berdampak untuk produksi pangan nasional kalau petaninya sendiri semakin berkurang," katanya.

Salah satu petani tembakau di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Sahminuddin, mengatakan, menanam tembakau sudah menjadi budaya yang umumnya diturunkan dari orang tua mereka. Sehingga, mengubah kebiasaan tersebut dengan menanam tanaman lain akan sangat sulit.

"Lahan kami cuma cocok untuk tanaman tembakau. Selama ini di daerah (petani tembakau), tembakau merupakan komoditas yang nilai ekonomisnya paling tinggi dibandingkan dengan komoditas pertanian atau komoditas perkebunan. Keahlian, modal, dan lain-lain sudah terbentuk sedemikian rupa di diri petani tembakau. Lalu kalau masalah ini mau diganti tidak bisa serta merta. Kalau mereka diminta dialihkan ke komoditas lain, apakah ada jaminan pasar?" kata Sahminuddin.

Baca Juga: Melihat Bangsal Tempat Pemeraman Tembakau Deli, Komoditas Terkenal Sejak Era Kolonial

Tembakau bukan hanya menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Angka kontribusi penerimaan negara dari cukai industri hasil tembakau (IHT) terbilang besar, yakni sekira Rp200 triliun pada 2022.

Peneliti kebijakan publik dari IPB University Sofyan Syaf menyebut, sektor tembakau telah menjadi andalan bagi banyak petani dan masyarakat lokal. Dia menilai, dampaknya akan sangat signifikan apabila sektor tersebut dilemahkan.

"Ada sekitar 2,7 juta jiwa yang bergantung kepada sektor tembakau ini. Kemudian, kalau kita lihat perputaran uang per tahunnya itu sampai Rp9,2 triliun di tingkat petani. Bayangkan kalau kemudian diksi pasal zat adiktif itu hadir, maka habis petani yang kemudian bergantung pada tembakau.

"Rp9,2 triliun perputaran uang per tahunnya, itu sangat tinggi sekali, yang dari mana negara harus menggantinya?" kata Sofyan.

Halaman:

Editor: Gema Trisna Yudha

Tags

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X