Harimau Sumatera Mati Diracun Usai Habitatnya 'Disulap' Jadi Kebun Sawit, Populasi Menipis

- Senin, 29 Juni 2020 | 19:57 WIB
Petugas memeriksa harimau Sumatera yang ditemukan mati di perkebunan di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Senin (29/6/2020). ANTARA FOTO/Hafizdhah
Petugas memeriksa harimau Sumatera yang ditemukan mati di perkebunan di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Senin (29/6/2020). ANTARA FOTO/Hafizdhah

Pembunuhan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) oleh manusia kembali terjadi. Kali ini terjadi di kawasan perkebunan sawit di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. 

Harimau Sumatera tersebut diduga mati akibat diracun oleh warga setempat. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah mengirimkan tim dokter ke lokasi untuk melakukan nekropsi atau pembedahan terhadap bangkai harimau tersebut.

"Kami masih mengumpulkan data lebih detail," ujar Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Agus Ariyanto saat dihubungi, Senin (29/6/2020).

-
Petugas menggotong bangkai harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang ditemukan mati di kawasan perkebunan masyarakat di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, Senin (29/6/2020). (ANTARA FOTO/Hafizdhah)

Saat ditemukan di tengah tengah kebun sawit, harimau itu tampak sudah memejamkan matanya. Dari fisiknya yang berisi dan kulitnya yang cerah, harimau itu diduga tadinya sehat. 

"Kita akan melaporkan ini ke polisi supaya diusut apakah memang benar diracun," ujar Agus.

Populasi Semakin Tipis

Kematian harimau Sumatera ini membuat populasinya semakin menipis. Meski belum memiliki data terbaru, BKSDA Aceh beberapa waktu lalu mengatakan bahwa jumlah harimau Sumatera di Aceh pada tahun 2015 hanya berkisar 90 ekor.

Berkurangnya populasi harimau ini tidak terlepas dari konflik horizontal antara harimau dengan manusia, yang disebabkan karena maraknya alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan sawit.

Belum lama ini, Badan Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Sumatera Selatan juga mencatat jumlah populasi harimau di provinsi itu hanya tinggal 17 ekor yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota.

Menurut Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel Genman S Hasibuan mengatakan, untuk saat ini konflik yang terjadi antara manusia dan satwa liar cukup banyak sejak tiga bulan terakhir, terutama di Pagaralam, Lahat dan Muara Enim.

Genman menjelaskan, selama habitat terganggu maka risiko konflik antara manusia dan harimau tetap tinggi. Oleh karena itu semua pihak perlu kesadaran dan komitmen untuk sama-sama menjaga habitatnya dan mengembalikan habitat harimau seperti semula.

"Konflik bisa terjadi karena habitat harimau terganggu, juga karena rantai makanannya sudah habis dan terputus. Penanganan untuk kasus ini tidak mudah, melainkan membutuhkan proses, butuh waktu yang lumayan lama," kata dia.

 

-
Polisi memeriksa bangkai harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang ditemukan mati di kawasan perkebunan masyarakat di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, Senin (29/6/2020). (ANTARA FOTO/Hafizdhah)

Sementara itu, Direktur Proyek Kelola Sendang-Zoological Society of London Damayanti Buchori mengatakan upaya penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar memang harus segera dilakukan.

Bukan hanya oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota melainkan juga semua stakeholder dan peranan masyarakat.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X