Indonesia Disebut Bakal Kesulitan Bangun Infrastruktur Energi, Ini Penyebabnya

- Senin, 27 April 2020 | 20:13 WIB
Ilustrasi Petugas memeriksa pipa jaringan gas (jargas). (Foto ANTARA FOTODidik Suhartono)
Ilustrasi Petugas memeriksa pipa jaringan gas (jargas). (Foto ANTARA FOTODidik Suhartono)

Pemerintah disebut kedepannya bakal kesulitan untuk melakukan pembangunan infrastruktur energi, termasuk jaringan pipa gas di seluruh Indonesia. Pasalnya, selain kemampuan APBN yang terbatas, kondisi BUMN Migas seperti PGN dan Pertamina, tidak memiliki likuiditas keuangan yang baik lantaran harus selalu menanggung beban akibat kebijakan pemerintah.  

Kebijakan paling baru di sektor energi yang disebut semakin membebani BUMN yaitu terbitnya Permen ESDM No 8 Tahun 2020. Keputusan itu disebut sebagai langkah blunder yang diambil Menteri ESDM karena harga gas tersebut jelas sangat membebani PGN lantaran berada dibawah harga keekonomian.

Terkait dengan ini, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa aturan tersebut akan membuat industri hilir gas bumi akan semakin tertekan. Sebab, harga murah gas bumi itu diperuntukkan bagi tujuh golongan industri yakni pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

“Saya memikirkan keberlangsungan bisnis hilir khususnya gas bumi, kalau pemain migas melihat investasi di sektor ini sudah tidak menarik karena penuh intervensi kebijakan yang kurang menarik, tentunya akan mengganggu investasi dan pencarian cadangan gas baru,” ujar Mamit di Jakarta, Senin (27/4/2020).

Mamit menyampaikan bahwa Permen ESDM No 8 Tahun 2020 bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) 40 Tahun 2016 dimana dalam Perpres tersebut menetapkan harga sebesar US$ 6 MMBtu di Hulu, bukan di plant gate sebagaimana yang ditetapkan dalam Permen ESDM No 8 Tahun 2020 tersebut.

”Saya kira Ombudsman harus turun tangan dan melihat ini sebagai maladministrasi penyelenggaraan Negara," tuturnya.

Menurutnya, jika membaca KepMen ESDM No 89.K/10/MEM/2020 sebagai turunan dari Permen ESDM No 8 Tahun 2020, bisa dipastikan industri hilir migas akan terpuruk dan merugi karena pemangkasan biaya transportasi yang cukup signifikan.

Sebagai contoh, untuk wilayah Jawa Timur yang melalui pipa milik PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN) untuk industri tertentu, biaya transportasi adalah sebesar US$ 1.19 per mmbtu untuk tahun 2020 – 2022, US$ 0.49 per mmbtu untuk tahun 2023 dan US$ 0.27 per mmbtu tahun 2024.

"Bisa dibayangkan betapa kecil penghasilan yang didapatkan PGN setelah dikurangi biaya yang harus dibayarkan ke transporter, sedangkan di sisi lain biaya untuk maintenance pipa dan pembangunan infrastruktur harus tetap berjalan,” tuturnya.   

Ia pun mempertanyakan, dengan pengurangan biaya distribusi tersebut, maka siapa yang akan menanggung skema integrator subsidi antar wilayah, dimana pada kenyataannya antara pasokan dan demand gas di Indonesia terpisah-pisah lokasinya, termasuk keekonomian lapangan hulunya.  

"Jadi siapa yang akan menanggung resiko di hilir gas bumi ini? apakah badan usaha hilir yang akan menanggung beban ini sendiri? padahal di hulu, pemerintah sama sekali tidak mengambil porsi badan usaha dan hanya berencana mengurangi porsi pemerintah. Menurut saya ini standar ganda,” ujarnya kembali.

-
Ilustrasi pasokan gas bumi. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Mamit menyampaikan juga bahwa dengan berkurangnya penerimaan negara akibat penurunan harga gas industri ini, harus dihitung dengan cermat agar beban negara di tengah pandemi COVID-19 ini tidak semakin berat.

”Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No 89 Tahun 2020, skema ini akan berlangsung dari 2020 sampai dengan tahun  2024 yang akan datang. Berdasarkan perhitungan yang saya lakukan, negara bisa kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 14,39 juta atau Rp223,13 miliar (kurs Rp 15.500) dengan pengurangan harga gas di Hulu. Saya menghitung untuk 6 industri yaitu petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet," papar Mamit.

Mamit juga mempertanyakan apakah Kementerian ESDM sudah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan mengenai dampak pengurangan PNBP migas tersebut.

Halaman:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

X