Jokowi Minta Dikritik, Tapi Aktivis Malah Ditangkapi dan Dipenjara

- Senin, 15 Februari 2021 | 16:36 WIB
Presiden Jokowi (Instagram/jokowi), Dandhy Dwi Laksono (Twitter), dan Sebastian Hutabarat (Facebook)
Presiden Jokowi (Instagram/jokowi), Dandhy Dwi Laksono (Twitter), dan Sebastian Hutabarat (Facebook)

Presiden RI Jokowi baru-baru ini meminta masyarakat lebih aktif dalam memberikan masukan dan kritik terhadap kinerja pemerintah.

"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan atau potensi maladministrasi," kata Jokowi dalam sambutannya di laporan tahunan Ombudsman 2020, Senin (8/2/2021).

Pernyataan Jokowi tersebut langsung disambut riuh protes di kalangan masyarakat. Pasalnya, selama ini, kerap terjadi penangkapan terhadap orang-orang yang vokal dalam mengkritik pemerintah.

Dandhy Dwi Laksono, Ananda Badudu, dan Sebastian Hutabarat adalah segelintir di antaranya.

Dandhy, misalnya, ditangkap karena dianggap menyebarkan kebencian terkait kritiknya terhadap pemerintah RI soal Papua.

Sementara Ananda Badudu yang merupakan mantan wartawan Tempo, ditangkap polisi terkait langkahnya menghimpun dana melalui aplikasi 'Kita Bisa' sebagai bentuk dukungannya terhadap aksi mahasiswa di gedung DPR.

"Saya dijemput Polda karena mentransfer sejumlah dana pada mahasiswa," tulis akun twitter pribadi Ananda Badudu, Jumat (27/9).

Sedangkan Sebastian Hutabarat, ditangkap dan dipenjara selama satu bulan gara-gara dianggap pelakukan penghinaan pemilik tambang galian C di Silimalombu, Samosir.

Mirisnya, sejumlah media mainstream menyebut Sebastian sebagai buronan dan menyamar menjadi penjual pizza.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri heran dengan pernyataan Jokowi tersebut.

"Tentu banyak pertanyaan, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi. Ini tentu menjadi bagian dari upaya kita.” kata JK, Jumat (12/2/2021).

JK mengatakan bahwa  Indeks Demokrasi Indonesia mulai turun dalam 14 tahun terakhir berdasarkan survei The Economist Intelligence Unit (EIU).

Menurut data EIU, skor demokrasi di Indonesia adalah 6,48 dalam skala 0-10. Penyebabnya adalah karena biaya demokrasi yang kelewat mahal.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X