Akan Dimakamkan di Bogor, Selamat Jalan Sastrawan Sapardi Djoko Damono

- Minggu, 19 Juli 2020 | 14:29 WIB
Sapardi Djoko Damono. (Foto: ANTARA/ Nanien Yuniar)
Sapardi Djoko Damono. (Foto: ANTARA/ Nanien Yuniar)

Jenazah sastrawan ternama Indonesia, Sapardi Djoko Damono rencananya akan dimakamkan di Taman Pemakanan Giritama, Giri Tonjong, Bogor. Sapardi diketahui meninggal dunia di rumah sakit Eka Hospital, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (19/7/2020) dinihari.

Humas Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Chysa mengatakan rencananya sebelum dimakamkan, jenazah akan disemayamkan di Kompleks Dosen UI no 113 Jalan H Djuanda Ciputat, Tangerang Selatan.

"Jenazah akan dimakamkan usai Shalat Ashar," kata Chysa seperti dilansir Antara, di Depok, Minggu (19/7/2020).

Sebelum kabar duka ini hadir, penyair yang lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940 itu juga merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia periode 1995 hingga 1999.

Sapardi Djoko Damono yang bergelar profesor ini sudah aktif menulis sejak duduk di bangku SMP. Dia menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kegemarannya menulis berkembang saat ia menempuh kuliah di jurusan Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

"Sebenarnya sebelum menulis puisi, saya sudah pernah menulis cerita anak dalam bahasa Jawa. Tapi ceritanya ditolak karena dianggap tulisannya tidak masuk akal. Padahal ceritanya benar-benar terjadi," kata pria yang kerap mengenakan topi pet khasnya itu suatu waktu pada Antara.

Sapardi menulis puisi sejak duduk di bangku SMA pada 1957. Buku puisi pertamanya bertajuk "Duka-Mu Abadi" diterbitkan 12 tahun kemudian.

Beberapa puisinya sangat populer saat ini di antaranya adalah "Aku Ingin", "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Akulah si Telaga", dan "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari".

Puisi Sapardi, meski sarat simbolisme namun sajak-sajaknya sederhana. Pilihan kata dan tema yang mudah dipahami pembaca, barangkali sudah jadi ciri khas dia.

"Jangan bikin yang ruwet, sajak itu sesuatu yang sederhana, manusiawi dan terjadi sehari-hari," ujar penyair yang menerima penghargaan SEA-WRITE AWARD dari Thailand pada 1986 itu.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

X