Ini Usulan DPR untuk Atasi Masalah Anggaran BPJS Kesehatan

- Rabu, 13 November 2019 | 09:27 WIB
Ilustrasi. (Antara/M Risyal Hidayat)
Ilustrasi. (Antara/M Risyal Hidayat)

Carut marut permasalahan BPJS yang terguncang akibat cash flow yang buruk secara jangka pendek, diyakini akan mampu terselesaikan dengan metode cost sharing bagi pengguna fasilitas. 

Anggota komisi IX DPR, Adang Sudrajat mengatakan, kebijakan menaikkan iuran BPJS hingga 100 persen yang berlaku awal tahun 2020, berpotensi membuat kekacauan masal karena menimbulkan alokasi pengeluaran anggaran baru bagi masyarakat.

Meski ada kesepakatan bersama antara DPR dan Pemerintah untuk tidak menaikkan peserta BPJS kelas III, namun untuk kelas II dan kelas I tetap akan menjadi beban karena jumlah pesertanya cukup banyak. 

“BPJS ini defisit sebesar sekitar Rp32 triliun. Sedangkan peserta BPJS bisa diasumsikan sekitar 100 juta jiwa. Bila selisih bayar Rp19 ribu per kepala dengan asumsi kenaikan dari Rp23 ribu menjadi Rp42 ribu, maka potensi penerimaan peserta BPJS adalah Rp1,9 triliun. Artinya diperlukan 16 bulan untuk menghabiskan defisit lama, padahal akan ada komponen biaya baru yang menambah defisit BPJS," kata Adang di Jakarta, Rabu (13/11).

Ia menjelaskan, pemerintah perlu meninjau kembali Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019. Ia berkeyakinan, tujuan pemerintah dengan aturan tersebut akan meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan akan sulit dicapai. 

“Saya terus menerus mendapat keluhan dari beberapa keluarga di komplek perumahan dengan perekonomian menengah, bahwa iuran mandiri kelas I yang tadinya sekeluarga 4 anak bayar Rp492 ribu rupiah, nanti tahun 2020 bakalan bayar hampir Rp1 juta, sebesar Rp984 ribu. Ini terjadi akibat pada peserta iuran BPJS kelas I, kenaikannya 100 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan. Ini berlaku 1 Januari 2020," kata Adang.

Ia pun mengusulkan kebijakan lain tanpa menaikkan semua peserta BPJS baik kelas I, II maupun III, yaitu dapat dilakukan dengan cara cost sharing pada tagihan pasien. 

"Misal tagihan pasien adalah Rp10 juta rupiah, maka dapat di bagi 30 persen ditanggung pasien, 70 persen ditanggung BPJS. Kebijakan cost sharing ini hanya berlaku pada peserta kelas I dan II saja. Sedangkan kelas III dibayar 100 persen oleh BPJS," jelas Adang. 

Kebijakan cost sharing ini juga akan memicu masyarakat yang akan berobat ke rumah sakit lebih selektif.  Akan ada manajemen mengukur diri sendiri pada masyarakat, sampai sejauh mana perlu berobat lanjut ke rumah sakit.

Penggunaan alat diagnostik yang mahal akan berkurang, karena pasien tidak akan berani meminta dan akan berdasarkan indikasi yang kuat saja. 

"Pada kasus fraud, akan jauh menurun karena pasien akan melakukan self verification atas biaya yang terjadi," pungkasnya. (SN)

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X