Negara Bolivia dilanda krisis politik sejak pemungutan suara 20 Oktober 2019 lalu yang dimenangi oleh Presiden sayap kiri Evo Morales. Hasil pemilihan itu memicu protes dari banyak masyarakat, termasuk para pendukung Carlos Mesa, mantan Presiden Bolivia.
Atas dasar itu, pemimpin oposisi tersebut menyerukan pemilihan umum (Pemilu) baru untuk menyelesaikan krisis politik yang terjadi belakangan ini.
"Solusi terbaik untuk krisis ini adalah pemilihan baru," kata Carlos Mesa, Minggu (3/11).
Jalan-jalan di negara yang terletak di Pegunungan Andes itu sebagian besar sepi selama akhir pekan, dengan beberapa blokade jalan yang tersebar. Aksi damai juga digelar oleh sejumlah massa.
Carlos Mesa (66) yang memerintah Bolivia dari 2003 hingga 2005 mengatakan, para pendukungnya akan tetap turun ke jalan melakukan protes damai, sampai solusi untuk krisis politik ini tercapai.
Sebelumnya, pihak oposisi meminta agar Evo Morales untuk mundur. Pendukung Morales dan Mesa bentrok dalam aksi protes pasca pemilu. Aksi protes yang berujung ricuh pada Rabu (30/10) tersebut menyebabkan dua orang tewas.
Sementara itu, juru bicara pemerintahan Morales tidak segera mengomentari seruan Carlos Mesa untuk menyelenggarakan pemilihan baru.
Sebagai informasi, Evo Morales (60) telah berkuasa selama hampir 14 tahun. Dia dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan dengan selisih kurang dari 10 poin persentase yang dibutuhkan untuk kemenangan langsung. Ketika itu, posisi perolehan suara Morales dan Mesa masih bersaing cukup ketat, dan nampaknya akan dilakukan pemilihan putaran kedua untuk menentukan pemenang.
Namun setelah penghitungan suara dimulai kembali oleh pihak berwenang di tengah protes dari oposisi, pemerintah asing dan pemantau Pemilu melihat hasil yang berbeda jauh dari suara pendukung Morales.
Perolehan suara Morales jauh lebih unggul dari suara yang diraih Mesa. Hingga akhirnya, Evo Morales dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan itu, tanpa harus dilakukan putaran kedua. Hanya, hasil itu justru membuat kubu oposisi menuding pemerintah melakukan manipulasi suara demi menghindari pemilu berlangsung dua putaran.