Premium dan Pertalite akan Dihapus, Pemerintah Diminta Pertimbangkan Kondisi Rakyat

- Rabu, 29 Desember 2021 | 17:54 WIB
Pengendara motor mengisi BBM jenis Pertalite di sebuah SPBU Pertamina di Jakarta. (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)
Pengendara motor mengisi BBM jenis Pertalite di sebuah SPBU Pertamina di Jakarta. (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Pemerintah mewacanakan akan menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan pertalite tahun 2022 karena dinilai tidak ramah lingkungan.

Merespon hal tersebut, Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al-Jufri menyayangkan langkah tersebut. Menurutnya, seharusnya dalam membuat sebuah kebijakan pemerintah lebih memikirkan rakyat dan bukan malah memaksa rakyat menjadi konsumen, kemudian pemerintah sebagai juragan.

"BBM itu kebutuhan dasar energi seluruh rakyat. Kebutuhan dasar mestinya memakai logika konstitusi, bukan logika bisnis. Pemerintah sebagai juragan ingin mendapatkan keuntungan lebih demi menutupi ketidakmampuan mengelola keuangan negara dan itu didapat dari memaksa rakyat membeli barang dagangannya yang lebih mahal dengan menghapus premium dan pertalite," ujar Salim Segaf di Jakarta, Rabu (29/12/2021).

Salim mengungkapkan memaksa rakyat membeli BBM lebih mahal pada saat proses bangkit dari kesulitan Pandemi adalah tindakan tidak berempati. Salim juga menyebut jelang pergantian tahun, banyak kebutuhan pokok terkerek naik tak karuan.

"Bahan pokok seperti telur, cabai, minyak goreng yang jadi kebutuhan pokok melonjak naik. Kini BBM subsidi akan dihapus dan masyarakat dipaksa membeli BBM yang lebih mahal. Rakyat ini sudah susah saat pandemi, mau bangkit perlahan, tapi diberi beban berat. Di mana hati nurani pemerintah," tegas Salim.

BACA JUGA: Premium Bakal Dihapus, ESDM: Tunggu Persetujuan Presiden

Lebih lanjut menurut Salim, daya beli masyarakat harus dijaga dengan tidak menambah beban baru pengeluaran rumah tangga dengan memaksa publik hanya membeli BBM jenis Pertamax yang harganya jauh lebih mahal.

"Pemerintah memakai formulasi UU Cipta Kerja pada penetapan UMP yang berimbas pada kenaikan tak lebih dari 1 persen dengan dalih menyesuaikan pertumbuhan ekonomi yang masih sulit,” katanya

“Tapi logika terbalik dipakai untuk memaksa pengeluaran rumah tangga lebih tergerus dengan menghapus premium dan pertalite dengan dalih lingkungan. Rakyat bisa melihat pemerintah kita menjadikan masyarakat sebagai sapi perah menutup defisit neraca keuangan negara," imbuh dia.

Di sisi lain Salim menduga aroma bisnis pada saat impor BBM justru naik pesat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor minyak dan gas bumi (migas) pada Maret 2021 melonjak 74,74%, menjadi  2,28 miliar dollar AS dari  1,30 miliar dollar AS pada Februari 2021.

"Impor tumbuh pesat pada saat yang sama memaksa publik membeli BBM non subsidi demi keuntungan yang lebih besar," tandasnya.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

X