Festival Ghantakarna adalah ritual untuk merayakan kekalahan iblis dalam mitos Ghantakarna yang menyimbolkan penghancuran kejahatan.
Festival ini dilaksakan setiap tahun pada hari ketiga (trayodashi) dari bulan Shrawan (Juli atau Agustus) di Bhaktapur, Nepal. Masyarakat di sana menyebutnya Ghantakarna Chaturdasi.
Menurut legenda yang dipercaya oleh masyarakat setempat, setan bernama Ghantakarna sering meneror penduduk desa dengan mencuri anak-anak dan perempuan di desa itu. Dia biasa meminta uang dan hadiah lain dari penduduk desa.
Tubuh setan Ghantakarna dicat merah, biru dan hitam dengan sepasang lonceng di telinganya. Wajahnya sangat menyeramkan dan setiap kali dia bergerak maka loncengnya akan berbunyi nyaring.
Nama Ghantakarna diambil dari dua kata yaitu ghanta artinya lonceng, dan karna berarti telinga. Dalam ritual ini, masyakarat membuat patung setan Ghantakarna dari jerami. Patung ini nantinya akan dibakar sebagai simbol penghancuran kejahatan.
Namun sebelum dibakar, masyarakat setempat beramai-ramai mengarak patung tersebut selama festival berlangsung. Masyarakat meyakini bahwa ritual itu bisa mengusir roh jahat dan hantu Ghantakarna.
Selain membakar patung, beberapa wanita yang sudah memiliki anak harus mengayunkan anaknya di atas sisa pembakaran patung tersebut supaya anak mereka tidak diganggu oleh setan Ghantakarna.
Meskipun secara bertahap mulai menghilang, ritual legenda setan Ghantakarna masih sering diperankan dalam bentuk drama yang digelar di jalanan. Seorang pria akan berperan sebagai Ghantakarna dalam drama itu dengan mengolesi dirinya dengan cat putih dan berkeliaran di sekitarnya.
Para ahli berpendapat bahwa festival ini mungkin merupakan peninggalan dari penyembahan berhala kuno di lembah Kathmandu. Masyakarat setempat memakai cincin besi di jari-jari mereka dengan keyakinan bisa melindungi diri mereka sendiri dari iblis dan roh jahat.