Menkumham: Ancaman Hukuman Pidana Pelaku Aborsi Lebih Rendah

- Sabtu, 21 September 2019 | 12:11 WIB
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan ancaman hukuman bagi perempuan yang melakukan aborsi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lebih rendah dibanding KUHP yang kini masih berlaku.

Dalam pasal 470 draf revisi KUHP, perempuan yang menggugurkan (aborsi) atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut, dipidana dengan hukuman kurungan penjara paling lama 5 (lima) tahun.

"Ancaman pidana tersebut lebih rendah dari KUHP yang kini berlaku, yaitu 12 tahun penjara," kata Yasonna dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (20/9).

-
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Dalam konferensi pers yang dihadiri oleh Ketua Tim Perumus RKUHP Muladi dan timnya, Yasonna menambahkan hukuman tersebut tidak berlaku bagi korban perkosaan maupun karena alasan medik. 

"Seorang perempuan yang diperkosa dan dia tidak menginginkan janinnya, dalam tahapan terminasi tertentu dapat dilakukan karena alasan medik misalnya mengancam jiwa. Tidak seolah-olah kita ciptakan ini seolah langit akan runtuh dan kita akan menangkapi semua orang. Ini saya perlu klarifikasi," kata Yasonna.

Sedangkan, untuk gelandangan dalam pasal 432 draf revisi KUHP menyebutkan setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum, akan dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (Rp1 juta).

Selain itu, menurut Yasonna, gelandangan juga dapat dijatuhi pidana alternatif berupa pengawasan dan kerja sosial, serta dapat dikenakan tindakan misalnya kewajiban mengikuti pelatihan kerja.

-
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Sementara itu, revisi KUHP ditunda untuk disahkan, setelah Presiden Joko Widodo meminta penundaan pengesahan revisi KUHP. Sebelumnya, pengesahan RKUHP dijadwalkan pada Rapat Paripurna DPR, 24 September 2019.

Hal itu dikarenakan masih ada sekitar 14 pasal yang harus ditinjau ulang dan berharap pengesahan RKUHP dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024.

Presiden meminta Menkumham Yasonna Laoly untuk menambah masukan dan mengumpulkan usulan dari masyarakat. Revisi KUHP dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dimulai sejak Presiden mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP pada 5 Juni 2015. Namun, rencana tersebut selalu tertunda.

-
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Adapun KUHP yang saat ini diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.

Rencana revisi KUHP sendiri sudah dimulai sejak 1963. Tim perumus RKUHP sepakat tidak membuat KUHP sama sekali dari nol, melainkan merekodifikasi KUHP Hindia Belanda. 

Kemudian, RKUHP baru mengalami kemajuan ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman. Muladi sempat mengajukan RKUHP ini ke Sekretariat Negara. Hanya saja, baru pada 2013 DPR secara intensif melakukan pembahasan RKUHP.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X