Syair Lampung Karam, Dokumentasi Langka yang Ungkap Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau

- Minggu, 12 April 2020 | 18:30 WIB
Ilustrasi Gunung Krakatau (Istimewa)
Ilustrasi Gunung Krakatau (Istimewa)

Gunung Anak Krakatau (GAK) kembali erupsi pada 10 April 2020 sekitar pukul 22.35 WIB, dengan tinggi kolom abu kurang lebih mencapai 500 meter di atas permukaan laut.

Netizen juga sempat heboh dengan suara dentuman saat GAK erupsi, meski kemudian Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVBMG) membantah bahwa suara dentuman yang didengar warga Jabodetabek berasal dari GAK.

Tetap saja, terbit kekhawatiran di masyarakat mengingat "ibu" dari GAK, yaitu Gunung Krakatau, pernah meletus hebat pada Agustus 1883.

Letusan ini meluncurkan awan panas setinggi 70 km dan tsunami 40 meter yang menewaskan sekitar 36 ribu orang.

Salah satu bukti kedahsyatan letusan Gunung Krakatau dituliskan oleh Muhammad Saleh dengan menggunakan aksara Arab-Melayu. Dia menuliskan catatan tersebut tiga bulan setelah Gunung Krakatau meletus, di pengungsian di Singapura.

-
Abu vulkanik Gunung Anak Krakatau terlihat dari pinggir pantai di Desa Pasauran, Serang (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Kemudian, oleh Suryadi, filolog dan peneliti University of Leiden, Belanda, menerbitkan teks ini dengan judul "Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883".

Catatan ini diterbitkan pada tahun 2009 silam. Syair itu menceritakan ngerinya air bah dari laut, menghantam daratan Lampung akibat letusan Krakatau.

"Orang yang mati ketika itu, terlalu banyak bukan suatu. Ada terselit di pohon kayu, ada yang pipih dihimpit perahu. Datanglah gelombang yang besar sekali, bertaburlah umat di sana sini.

"Ada yang hilang anak dan bini, mana yang sampai ajal pun mati. Hamba mendengar demikian peri, rahmat juga di dalamnya negeri. Tiada seperti Pulau Sebesi, orangnya tidak kelihatan lagi. Pulau Sebuku dikata orang, ada seribu lebih dan kurang. Orangnya habis nyatalah terang, tiadalah hidup barang seorang.

“Ada yang lari nyatalah terang, anak didukung ada di belakang, dipukul air tunggang-langgang, anak dilihat nyawanya hilang. Air di situ sahaya khabarkan, naik ke darat bukan buatan, dua belas pal nyatalah, Tuan, dari tepi laut sampai daratan.” demikian penggalan syair tersebut.

-
Syair Lampung Karam (Istimewa)

Syair ini begitu penting karena menjadi kesaksian lokal yang mendokumentasikan letusan Gunung Krakatau, jauh sebelum peneliti asing menulis tentangnya.

Berkat usaha Suryadi lah, syair ini bisa dibaca 125 tahun setelah letusan dahsyat tersebut. Suryadi menemukan naskah tersebut di enam negara yang berbeda.

-
Suryadi, filolog dan peneliti University of Leiden, Belanda (niadilova.wordpress.com)

Ada 38 halaman dengan 374 bait yang ditulis oleh Muhammad Saleh dalam syair tersebut. Dengan menggunakan gaya reportase dramatis, Saleh menggambarkan bagaimana kehancuran desa dan kematian massal akibat letusan Gunung Krakatau.

Beberapa daerah yang terdampak kuat seperti Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Tanjung, Kampung Teba, Kampung Menengah, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, Pulau Sebesi, Sebuku, hingga Merak.

Halaman:

Editor: Zega

Rekomendasi

Terkini

X