Kemendikbud Sebut 90% Mahasiswa Merasa Lebih Baik Kuliah Tatap Muka Ketimbang Daring

- Kamis, 9 Juli 2020 | 14:58 WIB
Ilustrasi mahasiswi. (pexels/Gustavo Fring)
Ilustrasi mahasiswi. (pexels/Gustavo Fring)

Sejak pandemi corona melanda Indonesia dan sejumlah negara lainnya, para siswa dan mahasiswa mendapatkan pengalaman baru dengan belajar dari rumah secara daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Terkait dengan ini, Plt Direktur Jenderal Dikti Kemendikbud, Nizam mengatakan, sebagian besar mahasiswa menilai bahwa PJJ sebagai pengalaman baru, pembelajaran lebih rileks dan bisa sedikit santai saat belajar.

Hanya saja kata Nizam, kekurangan dari program ini ialah koneksi internet dan beban tugas yang lebih berat dan biasanya.

-
Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Ir. Nizam saat mengikuti video converence pencanangan Zona Integritas pada fakultas di lingkungan ULM. (ANTARA/Firman)

"Meski ketercapaian pembelajaran cukup baik, tapi ketika ditanya daring atau luring, 90% mengatakan masih lebih bagus luring. Yang lebih suka daring adalah mereka yang lebih siap secara teknologi dan sarana prasarananya," ujar Nizam dalam rapat kerja bersama Komisi X pada Kamis (9/7/2020).

Selain itu kata Nizam, mahasiswa merasa materi pembelajaran cukup tersampaikan dengan baik, walaupun handphone menjadi alat paling penting dalam pembelajaran daring.

"Yang jadi masalah adalah koneksi internet yang buruk dan kesiapan dosen dalam menyiapkan modulnya," jelasnya.

-
Ilustrasi mahasiswi belajar daring di rumah. (pexels/Andrea Piacquadio)

Dia menambahkan, ada tantangan tersendiri dari program PJJ, yaitu pengembangan soft skills mahasiswa. Oleh sebab itu, Kemendikbud mendorong Merdeka Belajar, agar mahasiswa memiliki banyak kegiatan yang bisa dieskplor selama belajar di rumah.

"Sebagai contoh, mahasiswa relawan kesehatan banyak sekali yang daftar. Meski secara daring, tapi kerja mereka berdasarkan modul relawan yang disiapkan FK UI. Jadi mereka tetap belajar tracing, screening dan lain-lain. Demikian pula mahasiswa non kesehatan melakukan aktivitas seperti membuat APD, masker, face shield dan lain-lain," ungkapnya.

Program Merdeka Belajar juga mendorong kolaborasi antara dosen dan mahasiswa untuk melakukan berbagai inovasi, terutama untuk membantu menangani virus corona.

"Mulai dari alat-alat sederhana. Jadi misalnya rapid test, strelisasi, smart swab chamber. Bentu-bentuk kegiatan semacam ini bentuk implementasi Kampus Merdeka untuk tanggap terhadap masalah dan keluar dengan solusi-solusi cerdas," sambungnya.

"Pembelajaran yang dapat kita ambil ada adaptasi yang cepat terhdap teknologi pembelajaran, kerja dari rumah tak kalah produktif, lebih dari 1.000 inovasi dihasilkan, semangat gotong royong di antara dosen dan mahasiswa," tambahnya.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X