Tanggapan Kemenag, MUI, dan PBNU Soal Penggunaan Salam Lintas Agama

- Selasa, 12 November 2019 | 14:35 WIB
photo/Ilustrasi/Ist
photo/Ilustrasi/Ist

Kebiasaan bagi para pejabat dan pemimpin saat berpidato mengucapkan salam lintas agama. Dalam artian, salam yang diucapkan tidak hanya salam agama Islam saja, melainkan salam dari agama lain juga.

Bahkan belum lama ini, Presiden Joko Widodo membuka pidatonya dalam acara perayaan Hari Ulang Tahun ke-8 Partai NasDem dengan mengucapkan salam secara Islam dan agama lainnya.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat malam, salam sejahtera bagi kita semuanya. Om Swastiastu, Namo Buddhaya, salam kebajikan," ucap Presiden Jokowi membuka pidato.

Assalamu'alaikum adalah salam dalam agama Islam, Om Swastiastu identik dengan salam yang diucapkan umat Hindu, dan Namo Buddhaya adalah salam bagi para pemeluk agama Buddha.

-
Presiden Joko Widodo (tengah) memberikan sambutan pada penutupan Kongres II Partai Nasdem dan HUT ke-8 Partai Nasdem di Jakarta International Teathre, Jakarta, Senin (11/11/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Sebelumnya terkait pengucapan salam lintas agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan imbauan kepada umat Islam dan para pemangku kebijakan atau pejabat untuk menghindari pengucapan salam dari agama lain.

Imbauan itu tertulis dalam surat edaran bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.

"Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bidah, yang tidak pernah ada di masa lalu. Minimal mengandung nilai syubhat, yang patut dihindari," demikian pernyataan MUI Jatim, Minggu (10/11).

Imbauan Penggunaan Salam Sesuai Agama Bentuk Kehati-hatian

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan imbauan MUI Jawa Timur agar pejabat tidak menggunakan salam pembuka semua agama merupakan anjuran agar berhati-hati dalam persoalan akidah.

-
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

"Seorang Muslim harus berhati-hati di dalam berdoa dan jangan sampai dia melanggar ketentuan yang ada karena ketika dia berdoa maka dia hanya akan berdoa dan akan meminta pertolongan dalam doanya tersebut hanya kepada Allah SWT saja dan tidak boleh kepada lainnya," kata Buya Anwar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (11/11).

Ia mengatakan imbauan MUI Jatim itu sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan Hadits. Sebab di dalam ajaran Islam, setiap doa ada dimensi muamalah (hubungan kepada sesama) dan sarat dengan dimensi teologis serta ibadah.

Dalam berdoa, kata dia, Muslim meyakini bahwa yang bisa mengabulkan doa dari seseorang itu hanyalah Allah. Jika terdapat orang Islam berdoa dan meminta pertolongan kepada selain Allah, maka murka Tuhan pasti akan menimpa diri mereka.

"Oleh karena itu, seorang Muslim dalam berdoa jangan dan tidak boleh meminta tolong kepada selain Allah dan atau kepada Tuhan dari agama lain," kata dia.

-
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. ANTARA/Anom Prihantoro

Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 juga menjamin warga negara untuk beribadah dan berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut.

"Bagaimana dengan hal bertoleransi. Karena masing-masing agama memiliki ajaran dan sistem kepercayaan sendiri-sendiri maka untuk terciptanya kerukunan maka kita tidak boleh memaksakan kepercayaan dan keyakinan suatu agama serta cara beribadah dan mengucapkan salam yang ada dalam suatu agama kepada pengikut agama lain," katanya.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran Toko di Mampang Semalam, 7 Orang Tewas

Jumat, 19 April 2024 | 14:25 WIB
X