Tumbuh-Kembang Musik Rock Indonesia di Era Digital

- Rabu, 30 Oktober 2019 | 14:56 WIB
ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Di era serba teknologi saat ini, semua industri mau tak mau harus berani bertransformasi. Begitu pun dengan industri musik. Perkembangan teknologi dari analog ke digital secara langsung turut mengubah proses produksi musik, termasuk musik bergenre rock.

Pada era analog, musisi rock Indonesia pernah merasakan manisnya penjualan album fisik. Misalnya, grup rock 'God Bless' berhasil menjual sekitar 400 ribu copy melalui album 'Semut Hitam' pada 1998. Sedangkan pada era semi-digital, Jamrud bisa menembus angka 2 juta copy melalui album 'Ningrat' pada 2000.

Padi, Dewa, dan Cokelat adalah beberapa band dengan embel-embel rock -rock alternatif atau pop-rock- juga pernah mencicipi manisnya era musik dari sisi bisnis, sebelum era digital benar-benar bergulir.

-
Lokananta merupakan perusahaan rekaman musik pertama Indonesia yang dirintis Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero pada 29 Oktober 1956 yang memproduksi dan duplikasi piringan hitam hingga cassette audio. (ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA)

Era digital dalam produksi musik ibarat 'taman bermain' bagi musisi. Mereka bisa menciptakan efek suara, bereksperimen, dan proses rekaman menjadi lebih praktis.

Namun, kehadiran teknologi digital juga mengantarkan masalah. Padahal, sebelumnya kita sepakat bahwa teknologi digital begitu berguna dalam proses produksi. Hanya, permasalahannya saat ini adalah format musik digital MP3 begitu mudah diunduh, disebar, dan dinikmati dalam bentuk 'bajakan'.

"Manis banget, tapi zaman berubah. Masa kaset ke CD tidak terlalu terasa. Tapi ketika CD dihajar MP3, itu terasa banget. Bajakan di mana-mana. Tapi, musik tetap bertahan," kata pemain bas grup Cokelat Ronny Febry Nugroho, beberapa waktu lalu.

Produk bajakan memang bukan hal baru dalam industri musik, karena sudah terjadi sejak zaman kaset pita. Jadi, bukan alasan bagi musisi untuk habis akal, meski pada praktiknya tetap susah untuk dilawan.

Turunnya Penjualan Album Fisik

-
ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

Penjualan album fisik pada awal 2000-an terus menurun. Bahkan setelah era itu hingga tahun 2010, tidak ada album yang bisa menembus satu juta kopi lagi. Jangan tanya bagaimana era sekarang, tembus 150 ribu copy saja sudah mendapat gelar platinum.

Tentu, hal itu adalah dekade yang penuh tantangan untuk pemusik. Lantas, bagaimana mereka bertahan dalam periode transisi teknologi dan bisnis itu?

"Jangan karena pernah jual satu juta copy dan sekarang cuma jual 150 ribu, terus jadi lemah dan malas. Justru itu tantangannya. Bagaimana berkarya saat teknologi terus bergerak. Ada digital, ada streaming, dan bagaimana peluang pada masa depan," tambah Ronny.

-
ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

Melihat kondisi itu sebagai tantangan, harapannya bisa menjadi pemicu semangat musisi-musisi Indonesia untuk terus berkarya. Yakin saja, jika karya terbaik akan tetap dicari. Toh, musik tidak akan pernah mati, sekalipun dengan hadirnya digital.

Eet Sjahranie -gitaris Edane dan mantan personel God Bless- tidak punya resep khusus untuk bertahan di dunia musik rock selama lebih 30 tahun, selain semangat untuk terus berkarya.

"Kuncinya karena senang. Bukan tak butuh duit, tapi kalau senang, ya tidak kepikiran yang lain. Berkarya saja terus," kata Eet.

-
ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Gitaris nyentrik penggemar band hard-rock Van Halen itu tidak mau ambil pusing soal pergeseran teknologi dari analog ke digital. Meski ia mengakui hal itu turut mengubah pola pendengar dari kaset pita ke streaming melalui ponsel.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X