Masalah Royalti tak Kunjung Beres, Kinerja LMKN sudah Sejauh Mana?

- Kamis, 21 November 2019 | 14:05 WIB
Ilustrasi (Pexels)
Ilustrasi (Pexels)

Masalah royalti musisi Indonesia hinga saat ini masih belum tuntas. Selalu ada persoalan yang tidak sedikit membuat para musisi geram dimana usaha keras mereka dalam membuat sebuah karya tidak sepadan dengan apa yang mereka dapatkan.

Pemasukan dari streaming musik, cover lagu di youtube hingga sebuah pagelaran acara yang seenaknya memutar atau memaikan lagu dari musisi sama sekali tidak banyak membuat rekening para musisi "gemuk". Hal ini tentu juga menjadi tanggung jawab pemerintah yang mana sudah ada lembaga yang mengurusi itu yakni Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang berdiri sejak tahun 2015.

Beberapa waktu lalu, musisi sekaligus penggagas Konferensi Musik Indonesia (KAMI), Glenn Fredly menilai platform yakni Project Portamento yang digarap oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dua tahun lalu masih terus dibahas, salah satunya adalah tentang masalah royalti yang kerap dipermasalahkan oleh para musisi. 

Ia mengakui jika berkaca dari kasus di luar negeri, ada lembaga independen sendiri yang mengatur soal permusikan yang tak mau bekerjasama dengan negara. Padahal dalam kasus ini, pihaknya menilai ingin membuat sistem yang baik dengan pemerintahan.

Bukan Seperti Kisah Sangkuriang

Vokalis band Gigi Armand Maulana menilai untuk ukuran royalti saat ini jika dibandingkan dengan dulu di zaman Bimbo, Ebiet G Ade atau musisi lawas lainnya, jauh lebih baik.

Namun hal tersebut menurut Armand tidak boleh menjadi tolok ukur lalu kemudian menjadi puas. Pertanyaanya adalah, setelah sekian lama ini industri musik berjalan di Indonesia, kenapa baru sekarang mulai serius dipikirkan?

"Setelah puluhan tahun ini berjalan, cukup disayangkan kenapa baru sekarang dipikirkan soal royalti khususnya pencipta lagu," ujarnya saat dihubungi Indozone, Kamis (21/11/2019).

-
Armand Maulana (Instagram/@armandmaulana04)

 

Ia mengungkapkan jika royalti antara label dan musisi serta pihak terkait lainnya itu hampir mendekati sempurna. Hal ini dikarenakan sejak awal sebelum menandatangani kontrak, sudah bisa dilihat detail atau isi kontraknya seperti apa.

"Kan gue bisa lihat kontraknya. Kalau ada yang gue rasa ngerugiin gue yah gue bisa tanyain, ini kok gini, ini kok bisa gini. Intinya kalau sama label mah jelas. Gue gak tahu kalau ada label yang nakal yah," katanya.

Namun yang masih menjadi persoalan adalah royalty performing rights. Contoh sederhanya misalnya di sebuah acara pernikahan. Di Jepang, kata Armand, biasanya wedding organizer sebuah acara pernikahan menanyakan kepada calon mempelai, apakah nanti akan ada ban yang mengiringi selama acara pernikahan. Jika ada, maka akan ditanyakan lagi soal lagu-lagu apa saja yang akan dibawakan nantinya.

"Misalkan di list nanti akan bawain lagu gue, lagu Anji, atau lagu musisi lainnya. Baru setelah itu pihak wedding organizer tersebut mendaftarkan di LMK-nya mereka. Kita belum seperti itu," ungkapnya.

Masih banyak lagi, misalkan cover lagu di youtube atau acara dangdutan. Dimana tidak jarang penyanyi cover lebih banyak views-nya ketimbang penyanyi aslinya dan pendapat mereka itu tidak sedikit. Begitu juga acara dangdut koplo yang rutin diadakan dimana-mana khususnya di daerah.

Halaman:

Editor: Fahmy Fotaleno

Tags

Rekomendasi

Terkini

X