Fenomena Panic Buying, Memborong Barang Tak Bikin Seseorang Merasa Lebih Baik

- Selasa, 6 Juli 2021 | 14:44 WIB
Ilustrasi belanja. (Pexels/Anna Shvets)
Ilustrasi belanja. (Pexels/Anna Shvets)

Baru-baru ini muncul fenomena panic buying yang viral di media sosial. Orang rela berebutan untuk membeli barang tertentu, bahkan sebagian barang mengalami kenaikan harga karena fenomena ini.

Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia Mega Tala Harimukthi berpendapat ada beberapa hal yang menyebakan fenomena panic buying. Pertama, kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di Jawa dan Bali pada 3 Juli-20 Juli 2021, yang sebetulnya tidak perlu ditanggapi masyarakat dengan sikap panik.

Ia pun mengingatkan masyarakat agar tidak perlu panik sehingga menimbulkan persepsi akan terjadi kelangkaan produk-produk kebutuhan sehari-hari di masa mendatang, kemudian mendorong keinginan memborong atau panic buying.

"Kondisi ini kami hanya dibatasi untuk tidak keluar kalau tidak ada kepentingan. Ini untuk kebaikan kita dan keluarga. Sebenarnya kita tahu kebutuhan bulanan keluarga apa saja, kita punya list-nya, semisal vitamin, makanan, cukup ikuti list itu, jadi tidak perlu bersikap cemas sampai panik," kata Tala dikutip dari Antara, Selasa (6/7/2021).

Ia melanjutkan, memborong barang belum tentu membuat seseorang merasa lebih baik. Tindakan ini justru dapat menyebabkan kenaikan harga hingga kelangkaan produk yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Panic buying saat ini terlihat dari banyaknya orang yang membeli barang mulai dari masker, obat-obatan khusus Covid-19, oximeter, tabung oksigen, hingga produk makanan dan minuman yang membuat harganya melambung tinggi.

Selain PPKM, panic buying yang terjadi saat ini juga karena masyarakat cemas pada angka kasus Covid-19 yang masih terjadi. Menurut Tala, panic buying saat ini pun tidak lagi logis atau benar-benar irasional.

"Gimana enggak, nyari vitamin saja susah, bahkan oximeter jadi harganya melambung dan akhirnya karena tidak semua berpikir positif dan baik. Akhirnya ada pihak-pihak yang memanfaatkan peluang ini untuk menjadi sebuah peluang bisnis," kata Tala.

BACA JUGA: Kenali 5 Tanda Teman Palsu, Jangan Sampai Terjebak!

Ia menuturkan, banyak orang yang sehat pun terserang mentalnya. Mereka cemas akan terkena Covid-19 suatu hari nanti. Saat mengalami sakit kepala, dia otomatis berpikir soal gejala Covid-19, padahal bisa jadi karena kebiasaan begadangnya. Pada akhirnya, kecemasan meningkat dan membuat sistem imunnya turun lalu terkena Covid-19 seperti apa yang dia pikirkan.

"Di kondisi second wave ini bukan hanya sakit fisik, tetapi sakit mental bertambah. Sakit mental ini yang jelas psikosomatis, kecemasan meningkat. Misal, karena begadang misal karena bekerja terus pegal, dia langsung asosiasikan itu dengan gejala Covid-19, yang akhirnya membuat imunnya drop dan jadi sakit beneran," pungkas Tala.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Fahmy Fotaleno

Tags

Terkini

Makna dan Kegunaan 7 Sakramen dalam Gereja Katolik

Selasa, 26 Maret 2024 | 08:15 WIB

4 Peran Kerjasama Pendidikan oleh Negara ASEAN

Kamis, 21 Maret 2024 | 18:15 WIB
X