Gencarnya Media Sosial dan Perempuan Jadi Objek Konten, Benarkan Untuk Menarik Minat?

- Kamis, 21 April 2022 | 13:41 WIB
Ilustrasi - Seorang perempuan membentangkan poster saat melakukan aksi unjuk rasa menyuarakan kesetaraan gender, perlawanan atas kekerasan seksual terhadap perempuan, dan ekspoitasi perempuan. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc)
Ilustrasi - Seorang perempuan membentangkan poster saat melakukan aksi unjuk rasa menyuarakan kesetaraan gender, perlawanan atas kekerasan seksual terhadap perempuan, dan ekspoitasi perempuan. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc)

Perempuan dan tubuh perempuan selalu menjadi hal yang menarik di media. Itu sebabnya kabar tentang seorang perempuan yang ditangkap polisi karena “menjual” foto dan video seksualnya melalui layanan konten berbayar beberapa waktu lalu menjadi pemberitaan yang cukup masif di media massa, terutama media daring, dan perbincangan ramai di media sosial.

"Tidak hanya sampai pada perempuan yang ditangkap, media juga terus memberitakan upaya polisi untuk menelusuri penjualan dan distribusi konten seksual yang dibuat hingga akhirnya mengarah pada salah satu pesohor di Tanah Air," ujar Dewanto Samodro Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta seperti yang dikutip Antara, Kamis (21/4/2022) 

Warganet di media sosial pun ramai memperbincangkan kasus tersebut.

Katanya ketertarikan media dan masyarakat untuk memberitakan dan memperbincangkan hal tersebut tampaknya dianggap sebagai suatu hal yang wajar.

"Sejak awal peradaban, perempuan senantiasa menjadi objek, ditempatkan dalam posisi subordinat dan menjadi “alat” untuk memuaskan nafsu laki-laki," sebut Dewanto.

Hampir seluruh peradaban di dunia dibangun dalam sistem yang patriarkis, yang menempatkan laki-laki sebagai sosok yang berkuasa atas perempuan, termasuk menempatkan perempuan sebagai objek seksual bagi laki-laki.

Perempuan diobjektifikasi secara seksual dalam peradaban yang dibangun menurut sistem patriarkis.

Menurutnya dalam banyak peradaban di dunia, lebih banyak penguasa laki-laki daripada perempuan. Di antara banyak peradaban itu, banyak penguasa laki-laki yang memiliki banyak istri dan selir, bahkan menganggap istri dan selir yang banyak itu sebagai simbol kejantanan dan legitimasi kekuasaan bagi sang penguasa.

"Perempuan ditempatkan dalam posisi yang lemah karena kebanyakan dari mereka menjadi istri atau selir penguasa berdasarkan paksaan, konsolidasi politik, bahkan rampasan perang," sebut Dewanto.

Dia mengatakan kalau praktik-praktik objektifikasi terhadap perempuan tersebut terus dibawa dalam peradaban modern yang ternyata masih tetap menganut sistem yang patriarkis, termasuk objektifikasi perempuan di media massa, dan belakangan di media sosial.

Saat media cetak masih menjadi primadona bagi masyarakat, lebih banyak majalah dan tabloid yang menjadikan perempuan dan tubuhnya sebagai komoditas dibandingkan terhadap laki-laki dan tubuhnya.

Di media penyiaran, meskipun dibatasi hanya di malam hari, tidak sedikit tayangan yang menampilkan sosok perempuan dengan tubuhnya sebagai komoditas.

Perempuan dan daya tarik seksualnya menjadi objek dalam beberapa tayangan di televisi, seolah mereka tampil hanya untuk memanjakan mata penonton yang kebanyakan memang menyasar laki-laki.

Begitu pun di era media baru, banyak konten yang mengomodifikasi perempuan dan tubuhnya di media sosial.

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

Kemnaker Luncurkan Program K3 Nasional 2024-2029

Kamis, 25 April 2024 | 21:56 WIB

3 Ayat Alkitab Tentang Masa Depan

Selasa, 16 April 2024 | 17:00 WIB
X