Irawati Puteri bukanlah anak dari keluarga berkecukupan. Latar belakang orang tuanya yang bekerja serabutan dan hidupnya yang harus dilalui di kawasan kumuh, menjadi cambuk bagi dirinya untuk merubah nasib.
Tinggal di rumah petak yang banyak tikus,menjadi hari-hari Irawati semasa kecil. Irawati membagikan kisahnya di media sosialnya yang kemudian viral beberapa waktu lalu.
Melalui wawancara lewat chatting whatsapp, Ira kembali berbagi kisahnya hingga bisa tembus universitas bergengsi di Negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Berikut kisahnya.
Banting tulang dari usia 16 tahun
Perjalanan dari 'zero to hero' Irawati memang penuh perjuangan. Di usianya 16 tahun, Ira harus banting tulang menjadi tulang punggung keluarga. Latar belakang ayahnya yang tidak lulus SD menyulitkannya untuk mendapatkan pekerjaan.
Baca Juga: Ditolak 2 PTN, Siswi Medan Ini Justru Dapatkan Beasiswa di 6 Kampus Top Luar Negeri
"Saya ikut berbagai lomba, memberi les anak-anak hingga jadi SPG (Sales Promotion Girl) chicken nugget di Pekan Raya Jakarta," ujarnya menjelaskan bagaimana ia rela bekerja apa saja demi mendapatkan uang.
Dapat beasiswa saat sekolah dan kuliah serta kerja sambilan.
Untuk biaya sekolahnya,anak pertama dari 3 bersaudara ini mendapat beasiswa dari sekolahnya di SMAK 1 BPK Penabur Jakarta.
Ketika diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2015,Ira kembali mendapatkan beasiswa.Sambil kuliah,ia bekerja sambilan menjadi penterjemah tulisan, pengajar di Ruangguru,menjadi penulis artikel hukum dan bekerja sebagai staf firma hukum untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
"Orang tua saya enggak bisa membantu secara finansial,tapi mereka support serta memberi nasehat dan membebaskan saya dalam memutuskan sesuatu," ucap Ira perihal pentingnya pendidikan.
Perjuangan untuk mendaftar S2 di luar negeri
Mendaftar S2 ke beberapa universitas seperti University of Pennsylvania, Cornell University hingga Stanford University,enggak sedikit biaya pendaftaran yang harus dikeluarkannya.
"Sekitar Rp 1,5 juta untuk pendaftaran masing-masing sekolah dan Rp 3 juta untuk test TOEFL per sekali test dan saya harus mengulang sampai 5 kali," ucap Ira menjelaskan beratnya perjuangan untuk bisa "nembus" kampus favorit tersebut.
Dari seluruh dunia yang diterima hanya 20 orang per angkatan dan Ira menjadi satu-satunya dari Indonesia di jurusan yang dipilihnya.
"Saya memang sudah mempersiapkan diri untuk S2 ini. Saya nabung selama kerja dan ada penghasilan tambahan dari kerja sambilan juga," sambung Legal & Policy Manager di GovTech Edu ini.
Lulus di dua jurusan dan diterima di 9 Universitas bergengsi
Enggak tanggung-tanggung, Ira lulus 2 jurusan di Stanford yaitu jurusan Law,Science and Technology di Stanford Law School dan International Comparative Education and International Education Policy Analysis.