INDOZONE.ID - Harta kekayaan Low Tuck Kwong melejit di tengah kebutuhan energi yang melonjak secara global akibat perang di Ukraina. Ini membuat harga batu bara yang diusahakan pria asal Singapura itu melambung.
Forbes 2022 telah merilis orang-orang terkaya Indonesia menempatkan pemilik usaha batu bara Bayan Resources (BYAN) Low Tuck Kwong menempati urutan kedua setelah pemilik grup Djarum, Budi & Michael Hartono.
Kekayaan Low Tuck Kwong mengalami lonjakan kekayaan 5 kali lipat dari US$2,55 miliar atau setara dengan Rp39,8 triliun naik menjadi US$12,1 miliar atau setara dengan Rp189 triliun.
Melambungnya kekayaan Low Tuck Kwong disebabkan kenaikan harga batu bara di tengah krisis energi global dan membuat harga saham Bayan Resources juga naik signifikan.
Saat Pemerintah Indonesia, seperti banyak lainnya, sedang mencoba untuk mengurangi energi fosil termasuk batu bara dalam komitmen KTT G20 di Bali, di mana negara maju dan bank swasta sepakat menyediakan pinjaman lunak senilai $ 20 miliar untuk membantu Indonesia mengurangi penggunaan batu bara dan mengembangkan lebih banyak sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan.

Baca juga: Amankan Pasokan PLN, Menko Luhut Jelaskan Syarat Izin Ekspor Batu Bara
Nyatanya ini tidak Low khawatir. Dia merasa prospek industri menggunakan batu bara masih dibutuhkan bagi banyak negara, termasuk Eropa. Ini disampaikan Low dalam pesannya di laporan tahunan Bayan Resource 2021.
“Sementara kami menyadari bahwa batu bara dianggap sebagai industri mulai meredup, pengeluaran kami termasuk yang terendah di dunia, dan batu bara merupakan enegi yang rendah emisi CO2 berada di tingkat terendah ketiga, ini memastikan bahwa kami akan menjadi salah satu perusahaan terakhir yang bertahan,” kata Low seperti yang dikutip Forbes.
Chief Financial Officer Bayan Alastair Mcleod, ketika ditanya tentang program pembiayaan $20 miliar, mengatakan bahwa itu “proporsi yang sangat kecil dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengalihkan penggunaan batu bara di Indonesia.”
Dan dia menegaskan bahwa batu bara akan menjadi bagian dari campuran energi di negara-negara berkembang untuk beberapa tahun ke depan.
Berdasarkan basis usaha tambang Low di Kalimantan Timur, saat ini 85% produksi batu bara masih beroperasi dan masih jauh dari kata mati.
Truk pengangkut trailer ganda yang ukurannya cukup besar masih mengangkut 230 ton batu bara sepanjang 69 kilometer dari tambang ke Pelabuhan Senyiur sepanjang waktu kecuali dua hari dalam setahun saat Hari Kemerdekaan Indonesia dan Idul Fitri.
Saat ini ada 150 truk beroperasi di daerah tambang dan jumlah itu akan berlipat ganda untuk memenuhi target perusahaan yang produksinya meningkatkan menjadi 60 juta ton per tahun pada 2026.
Siapa Low Tuck Kwong?
Low Tuck Kwong merupakan pengusaha dari Indonesia. Ia adalah pendiri dari Bayan Resources, salah satu perusahaan yang bergerak di sektor tambang batu bara.
Low Tuck Kwong lahir di Singapura pada tanggal 17 April 1948. Ia kemudian bekerja di perusahaan konstruksi milik ayahnya, yakni David Low Yi Ngo.
Baca juga: China Intervensi, Harga Batu Bara Acuan RI Turun
Ketika Low berusia 14 tahun, dia mulai membantu ayahnya membangun proyek sepulang sekolah. Sum Cheong akhirnya menjadi perusahaan yang sukses di Singapura dan Malaysia.
Alih-alih meneruskan usaha yang dirintis ayahnya, Low malah memulai usahanya sendiri di tempat yang lebih besar, dan melihat peluang di Indonesia, di mana saat itu hanya sedikit orang dari Singapura yang berbisnis.
Pada tahun 1973 pada usia 25 tahun, dia mendapatkan proyek pertamanya, membuat pabrik es krim di Ancol, di pesisir Jakarta melalui PT Jaya Sumpiles Indonesia (JSI) yang bergerak di bidang konstruksi. Low mengatakan dia adalah kontraktor pertama di Indonesia yang menggunakan palu diesel untuk pemancangan, yang mempercepat pekerjaan. JSI kemudian menjadi pelopor konstruksi pondasi tumpuk (pile foundation) yang kompleks.
Partner Lim Sio Long
Saat mengerjakan proyek ini, Low mengaku sangat beruntung karena bisa bertemu dengan Liem Sioe Liong, pendiri Grup Salim dan sahabat mendiang Presiden Soeharto. Liem yang kemudian menjadi pengusaha terkaya di Indonesia ini adalah pemilik pabrik tepung terigu Bogasari di dekat pabrik es krim yang dia bangun.
“Dia melihat kami membawa tumpukan, menghentikan kami dan berbicara dengan saya. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya tidak bisa berbahasa Indonesia, dan dia memberi saya kartu namanya, berbicara kepada saya dalam bahasa Mandarin dan meminta saya untuk menemuinya nanti,” kata Low.
Hal ini membuat Low kemudian bisa menjalin kerjasama dengan Liem, yang kemudian meninggal pada tahun 2012, dan putra bungsunya Anthoni Salim, yang juga berada di urutan orang terkaya ke-5 di Indonesia. “Keduanya banyak membantu kami,” kata Low.
Low juga bekerja sama dengan Jaya Steel anak perusahaan Pembangunan Jaya, perusahaan patungan antara pemerintah provinsi Jakarta dan pengusaha lokal termasuk mendiang taipan properti Ciputra untuk mendirikan Jaya Sumpiles Indonesia.
Kepemilikan awal adalah 50/50, kemudian Low mengambil kendali penuh. Low memiliki pekerjaan tetapi menginginkan aliran pendapatan yang lebih stabil daripada yang disediakan oleh bisnis konstruksi sipil. Pada akhir tahun 1987, Low memutuskan untuk memasuki bisnis kontraktor batu bara.
Saat itu, industri batu bara Indonesia masih dalam masa pertumbuhan. Jaya Sumpiles bekerja sama dengan beberapa penambang untuk pemindahan, penambangan, dan pengangkutan lapisan penutup (lapisan tanah penutup adalah material yang harus dipindahkan sebelum penambangan dapat dimulai).
Selama tahun 1990-an produksi dalam negeri meroket dari 4,4 juta ton menjadi 80,9 juta ton, dibantu oleh kebijakan pro-penambang yang mendorong investasi di pemerintahan Soeharto. Pada bulan November 1997, setelah satu dekade punya pengalaman di industri batu bara, usai pindah kewarganegaraan jadi WNI (tahun 1992), Low membeli lahan konsesi tambang batu bara pertamanya: Gunungbayan Pratamacoal, di Kalimantan Timur.
Produksi dimulai pada tahun 1998 yang merupakan saat yang suram untuk memulai bisnis di Indonesia karena terjadi krisis moneter dan terjadi reformasi hingga tumbangnya pemerintahan Soeharto.
Saat itu harga batu bara merosot cukup tajam dengan cuma $ 3 per ton, namun Low tetap pada pendiriannya dengan bisnis tambang batu bara. Ia pun dianggap gila dan keputusannya untuk terjun di industri ini banyak ditetawakan.
“Perjalanan kami tidak mudah sejak awal. Orang-orang menertawakan kami (karena membeli tambang). Mereka bilang kami gila,” kenang Low.
Namun ternyata pertaruhan bisnis Low membuahkan hasil yang cukup menguntungkan. Dengan memperoleh konsesi dan saham mayoritas di Dermaga Perkasapratama, operator Terminal batu bara Balikpapan, salah satu yang terbesar di RI, saat ini memiliki kapasitas stockpile 1,5 juta ton atau 24 juta ton per tahun dan bisa lebih.
Pada tahun 2004, Low mengkonsolidasikan aset dan mendirikan Bayan Resources, yang diberi nama berdasarkan nama kabupaten setempat. Empat tahun kemudian, setelah menjadi produsen terbesar kedelapan di Indonesia, Bayan mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia.
Hasil IPO digunakan untuk mengembangkan lahan konsesi pertambangannya, termasuk yang ada di Tabang, yang kini memiliki 12 izin pertambangan seluas 34.715 hektar—hampir separuh luas Singapura.
Area ini mengandung batu bara sub-bituminous yang rendah abu dan belerang dengan nilai kalor yang paling cocok untuk pembangkit listrik bertenaga batu bara, namun polusinya relatif lebih sedikit dibandingkan jenis batu bara lainnya.
Artikel Menarik Lainnya:
- Sumut Tertinggi Kasus Kejahatan 2021, Dijawab Polda Sumut Raih Kompolnas Award 2022
- Mulan Jameela Nangis Cerita Kematian, Netizen Malah Nyinyir Bahas Pelakor
- Saudari Kembar Aaron Carter Berikan Penghormatan atas Kematian Saudaranya yang Misterius