Kisah Inspiratif Ibu Maria Bisa Kuliahkan Anak Berkat Karya Tenun Ikat Warna Alam

- Rabu, 1 Maret 2023 | 21:51 WIB
Maria Sanam, pengrajin tenun berusia 50 tahun asal NTT. (Dok. BCA)
Maria Sanam, pengrajin tenun berusia 50 tahun asal NTT. (Dok. BCA)

Melestarikan budaya leluhur bukanlah perkara mudah. Di balik gulungan benang yang berakhir menjadi sehelai tenun, Maria Sanam melalui berbagai kesulitan demi memperpanjang tradisi tenun ikat warna alam di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Maria Sanam merupakan seorang ibu pengrajin tenun berusia 50 tahun asal Desa Nekemunifeto, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

Namun pertemuannya dengan Perkumpulan Warna Alam Indonesia (Warlami) berhasil memperkenalkannnya kembali dengan tradisi tenun ikat berwarna alam, sebuah tradisi yang sejatinya telah berusia cukup tua di daerah sana.

Tanggal 21 Februari 2023 adalah pertama kalinya Maria menjejakkan kaki di Jakarta sekaligus luar kota. Jangankan pesawat dan hotel, kebutuhan dasar listrik dan internet adalah barang langka yang tak pernah dialami Maria di desanya. Di balik semua keterbatasan itu, Maria tidak pernah putus dalam membuat tenun ikat.

“Saat pertama kali sa (saya) naik pesawat, sa sangat merasa takut. Sa hanya berharap dengan Tuhan tolong sa sampai kota tujuan dengan selamat,” ucapnya saat ditemui di BCA Expoversary 2023, ICE BSD, Tangerang.

-
Maria Sanam (dua dari kanan), pengrajin tenun berusia 50 tahun asal NTT di BCA Expoversary 2023, ICE BSD, Tangerang. (Dok. BCA)

“Tenun merupakan salah satu mata pencaharian sa, ini telah membantu sa untuk membiayai anak sekolah sampai kuliah,” ujar Maria.

Maria sudah berkarya tenun ikat sejak di bangku kelas 3 SD, buah belajar dari kedua orang tuanya. Namun hampir sepanjang Ia menenun, pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis, sebagaimana yang digunakan penenun lain di desanya.

Baca juga: Kisah di Balik Rumah Adat Wologai di NTT, Dibangun Pakai Kayu Nebangnya Harus Jam 12 Malam

Bagi para penenun, menggunakan benang berwarna sintetis bisa dibilang pilihan masuk akal karena mudah diakses, murah, dan prosesnya cepat.

Sekretaris Jenderal Warlami Suroso menjelaskan bahwa pada mulanya masyarakat NTT, khususnya Timor Tengah Selatan telah menggunakan pewarna alam untuk tenun ikat. Akan tetapi kedatangan VOC dan hubungan perdagangan yang intens membuat penduduk setempat beralih ke pewarna sintetis.

“Tidak hanya di NTT, di mana saja di mana ada wastra, wastra itu kain adati berupa tenun, batik, dan segala macam, pasti sejak jaman dulu sudah menggunakan bahan pewarna alam. Tapi sejak masuknya bahan pewarna sintetis saat VOC masuk, orang-orang asing membawa bahan-bahan pewarna sintetis, secara perlajan mereka beralih ke bahan pewarna sintetis yang lebih cepat pemakaiannya, lebih mudah, dan harganya lebih murah sehingga pewarna alam sebagian besar ditinggalkan,” tutur Suroso.

Menggunakan benang berwarna alam memang bukan perkara mudah. Untuk mendapatkan benang berwarna merah saja benang perlu diminyaki lalu direndam ke sejumlah bahan seperti kemiri, daun dadap, daun widuri, hingga simplokos, dan terakhir diwarnai dengan akar mengkudu. Proses pewarnaan itu bisa memakan waktu kurang lebih sebulan lamanya.

“Jadi pewarna alam bukan sesuatu yang baru bagi mereka. Justru kami dari Warlami mengajak mereka kembali menggunakan tradisi dan teknik yang sebenarnya sudah ada di mereka,” timpalnya.

Sejak mendapat pelatihan dari Warlami pada Agustus 2022, Maria dan komunitas penenun di desanya sudah bisa memproduksi sejumlah tenun berkualitas tinggi. Harga jual satu tenun ikat berwarna alam dengan motif pahat dapat dijual sekitar Rp3 juta.

Halaman:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Terkini

Ada dari Sumatra, Ini 3 Smart City di Indonesia

Minggu, 28 April 2024 | 11:35 WIB

Kemnaker Luncurkan Program K3 Nasional 2024-2029

Kamis, 25 April 2024 | 21:56 WIB
X