Sukses karena Kepepet, Payung Batik Pasutri Klaten Tembus India hingga Amerika

- Jumat, 30 September 2022 | 17:43 WIB
Kreasi payung batik Klaten (Z Creators/Edelweis Ratushima)
Kreasi payung batik Klaten (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Banyak jalan menuju Roma. Pepatah tersebut nampaknya sangat tepat dipakai banyak orang yang enggak mudah patah semangat dalam mencapai tujuan, ketika jalan yang mereka lalui buntu.

Seperti yang dilakukan pasangan suami istri (Pasutri) Sularto-Subiyati warga Dukuh Pendem, Desa Jarum, Bayat, Klaten, Jawa Tengah ini.

Ketika usahanya dihantam badai, keduanya enggak lantas menyerah atau gulung tikar. Saat seperti itulah, Sularto merasa banyak ide-ide muncul.

Dari batik ke kayu

Awalnya, Sularto menggeluti usaha batik kain sejak 2010 paska gempa bumi Jateng-DIY 2006 yang lalu. Dibantu beberapa orang tetangganya, usaha batik yang diberi nama Bima Sena tersebut berkembang pesat. Namun yang namanya usaha, pasti ada pasang surutnya.

-
Payung dan kain batik karya warga Klaten (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Ketika usaha batik kain banyak pesaingnya, Sularto mempunyai ide untuk menggarap kayu. Tentu saja yang masih berhubungan dengan batik. Kayu yang ia gunakan jenis gamelina atau kayu jati yang tidak mudah ‘bubuken’ (rapuh dimakan rayap). Selain itu, warna kayunya putih, sehingga kalau dibatik, motifnya langsung muncul dengan jelas.

“Kami membuat batik kayu untuk hiasan dinding. Ada topeng, talenan, mainan anak dakon, tempat pensil, dan lain-lain,” kata Sularto saat ditemui di rumahnya.

Untuk batik kayu ini, pangsa pasarnya dari Solo, Yogya, dan Bali. Harganya antara Rp85 ribu sampai Rp100 ribu, tergantung ukurannya. Dalam sebulan, ia dibantu 14 orang karyawan, bisa membuat seribu buah batik kayu. Dari situlah, ia bisa meraup omset puluhan juta Rupiah.  

Covid-19 menghancurkan bisnis

-
Payung batik sesuai pesanan (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Setelah berhasil membuat batik kayu, lagi-lagi usahanya dihantam ujian ketika Covid-19 melanda dunia. Semua pesanan batik dibatalkan. Praktis enggak ada pemasukan.

“Pusing sekali saat pandemi Covid-19 kemarin, semua pesanan di-cancel, pemasukan enggak ada, tetangga yang biasanya membantu tidak punya penghasilan, pokoknya sedih sekali,” tutur Sularto yang akrab disapa Jeprik ini.

Sukses karena kepepet

Saat itulah, Sularto bersama istrinya iseng-iseng membuat batik di atas payung dengan motif-motif budaya Jawa. Ada sekarjagat, sidomukti, truntum, ukel, kawung, dan lain-lain. Lalu hasilnya ia unggah di Instagram. Ternyata ada yang merespon. Pembeli pertama justru datang dari orang India.

-
Kreasi payung batik cantik (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Kini pangsa pasarnya meluas hingga ke Hong Kong, Amerika, dan Australia. Untuk pasar dalam negeri tetap dilayani terutama dari Bali, Lombok, Yogya, Solo, dan lain-lain. Harganya antara Rp150 ribu sampai Rp450 ribu.

-
Payung batik tembus pasar mancanegara (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Sularto memasarkannya secara online. Selain menyediakan motif perpaduan Jawa klasik, kontemporer, maupun modern, ia tetap melayani motif yang diinginkan para pembeli.

“Kalau dari India misalnya, pesan motif sesuai dengan kebudayaan mereka, kami tetap layani,” jelas Sularto.

Susahnya membatik di payung

Menurut Sugiyati, membatik di atas payung memang sulit karena bahannya berbeda. Kalau membatik kain menggunakan cairan malam, namun kalau membatik di atas payung memakai cat air.

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

3 Ayat Alkitab Tentang Masa Depan

Selasa, 16 April 2024 | 17:00 WIB

5 Contoh Hak Siswa di Sekolah yang Kamu Harus Tau!

Kamis, 11 April 2024 | 09:10 WIB
X