BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar Utang, Begini Kata DPR

- Kamis, 24 Juni 2021 | 10:15 WIB
Ilustrasi utang berupa uang. (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)
Ilustrasi utang berupa uang. (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, alangkah baiknya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melihat utang pemerintah secara komprehensif dalam kerangka penilaian laporan keuangan pemerintah secara keseluruhan.

Hal tersebut dikatakannya merespon pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna yang khawatir  terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunganya dalam pidato pada Rapat Paripurna DPR-RI, Selasa (22/6/2021).

“Ini kan aneh. Di satu sisi, BPK memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan pemerintah. Namun di sisi lain mengkhawatirkan utang pemerintah. Rakyat jadi bingung atas sikap mendua BPK,” kata Heri, Kamis (24/6/2021).

Adapun Ketua BPK dalam pidato tersebut juga menyebut indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR).

Sepanjang tahun 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini betul meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun. Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angkanya melampaui rekomendasi IMF pada rentang 25-35 persen.

Begitu juga dengan pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

Baca Juga: Korut Mengeksekusi 10 Orang yang Menggunakan HP untuk Menghubungi Orang di Luar Negeri

Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Tak hanya itu, indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen

Selain itu, sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen. Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp 947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB. 

Disisi realisasi pembiayaan Tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun. Artinya, pengadaan utang Tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.

“Memang pandemi Covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang berdampak pada pengelolaan fiskal, namun sebaiknya BPK juga perlu melihat UU No. 2 Tahun 2020 sebagai dasar hukum pembengkakan defisit tersebut,” tutur Heri.

Politisi Partai Gerindra ini menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Padahal kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu No. 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU No. 2/2020. 

“Perpres 72 merupakan aturan turunan dari Pasal 12 ayat (2) Perppu No.1/2020. Begitu pula defisit APBN yang semula dibatasi 3% dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara diubah boleh melebihi 3% oleh Pasal 2 ayat 1 huruf a nomor 1 Perppu No.1/2020,” bebernya.

Halaman:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

X