'Darah dan Doa' dan Sejarah Cikal Bakal Tercetusnya Hari Film Nasional Setiap 30 Maret

- Selasa, 30 Maret 2021 | 10:17 WIB
Salah satu adegan di film Darah dan Doa, film yang menjadi cikal bakal tercetusnya Hari Film Nasional. (Youtube).
Salah satu adegan di film Darah dan Doa, film yang menjadi cikal bakal tercetusnya Hari Film Nasional. (Youtube).

Peringatan hari film di Indonesia jatuh pada setiap tanggal 30 Maret yang ditetapkan melalui Keppres Nomor 25/1999 di era presiden B.J Habibie

Pemilihan tanggal tersebut bukanlah tanpa sebab. Tanggal 30 Maret dipilih lantaran menjadi tanggal pertama dimulainya syuting film produksi Indonesia pertama berjudul 'Darah dan Doa.'

Mengutip Wikipedia, 'Darah dan Doa' merupakan sebuah film Indonesia karya Usmar Ismail yang diproduksi pada tahun awal 1950 dan dibintangi oleh Faridah. Film ini merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh Indonesia sebagai sebuah negara ataui setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan Indonesia.

Pada 30 Maret 1950, film 'Darah dan Doa' melakukan pengambilan gambar hari pertama. Film ini merupakan film pertama yang disutradarai orang dan perusahaan Indonesia, Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Saat itu, selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu Perfini dan Persari.

Pada 11 Oktober 1962, konferensi Dewan Film Nasional dengan Organisasi Perfilman menetapkan 30 Maret menjadi Hari Film Nasional. Sejak saat itu, 30 Maret dianggap sebagai Hari Film Nasional. Usmar Ismail (pendiri Perfini) dan Djamaludin Malik (pendiri Persari) juga diangkat sebagai Bapak Perfilman Nasional.

-
Darah dan Doa. (Youtube).

Sipnosis 'Darah dan Doa'

Film ini mengisahkan perjalanan panjang (long March) prajurit divisi Siliwangi RI, yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Kerajaan Belanda lewat Aksi Polisionil. Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin Kepten Sudarto (Del Juzar). Perjalanan ini diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh.

Film ini lebih difokuskan pada Kapten Sudarto yang dilukiskan bukan sebagai pahlawan tetapi sebagai manusia biasa. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogyakarta dan dalam perjalanannya ia terlibat cinta dengan dua gadis. Ia sering tampak seperti peragu. Pada waktu keadaan damai datang, ia malah harus menjalani penyelidikan, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan dirinya sepanjang perjalanan.

Baca Juga: Ada 3 Film Yang Ditulis Oleh Quentin Tarantino Tetapi Ia Malas Menggarapnya

Bukan pilihan tunggal.

Penetapan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional bukanlah pilihan tunggal. Tanggal 19 September juga pernah diusulkan dikarena tanggal peliputan Rapat Raksasa Lapangan Ikada Presiden Sukarno. Keberanian juru kamera Berita Film Indonesia merekam peristiwa bersejarah itu sangat berbahaya sehingga patut dikenang.

Pada 1964 Pegiat perfilman komunis juga pernah mengusulkan Hari Film Nasional didasarkan dari tanggal pendirian PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat). Aksi tersebut berhasil menghentikan pemutaran film-film Amerika Serikat di Indonesia. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September usulan tersebut lenyap.

Pada tahun 1980-an, ketika situasi politik dan kondisi perfilman telah stabil, gagasan mengenai Hari Film Nasional diangkat kembali. Dewan Film Nasional, kelompok pemikir Menteri Penerangan, kembali mewacanakan 30 Maret untuk dijadikan keputusan bersama. Tapi usaha tersebut kembali gagal karena PFN mengusulkan 19 September dan 6 Oktober. Tanggal 6 Oktober merupakan tanggal penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh penguasa Jepang kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi BFI dan PFN. Usulan ini langsung ditolak, karena tidak mengandung idealisme atau nilai perjuangan.

Pada awal 1990 Dewan Film Nasional memutuskan menjaring pendapat soal Hari Film Nasional. Anggota DFN, Soemardjono, ditunjuk memimpin pertemuan sejumlah orang yang pernah terlibat dalam sejarah film di gedung Badan Sensor Film (BSF). Salah satu peserta pertemuan, Alwi Dahlan memberikan dasar pertimbangan yang akhirnya diterima. Menurutnya kedua tanggal itu penting, namun 19 September merupakan peristiwa jurnalistik. Sedangkan Hari Film Nasional adalah untuk memperingati pembuatan film cerita.

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X