3 Alasan Ini Sebabkan Angka Kematian DBD di NTT Tinggi

- Rabu, 11 Maret 2020 | 19:37 WIB
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid. (INDOZONE/Maria Adeline Tiara)
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid. (INDOZONE/Maria Adeline Tiara)

Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto berkunjung ke Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk memantau penanganan demam berdarah dengue (DBD) di wilayah tersebut. Angka kejadian dan angka kematian DBD di sana memang terbilang tinggi. Data per 11 Maret menunjukkan di Kabupaten Sikka terjadi 1.216 kasus DBD dengan 14 kematian.

Menurut Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, dalam 10 tahun terakhir, angka DBD di Kabupaten Sikka memang cukup tinggi. Faktor perilaku masyarakat menjadi penyebab utama tingginya angka kasus di sana.

"Lingkungan itu harus dikelola dengan baik, perilaku di dalam rumah termasuk penampungan air untuk masak. Di Sikka banyak masyarakat yang memiliki tanaman hidroponik, memang bagus tapi di dalamnya banyak jentik nyamuk. Lalu ada juga ban untuk memperindah taman yang juga jadi sarang nyamuk, lalu botol-botol ditaruh di belakang rumah, perilaku 3M+ tidak dilakukan," ujar dr Nadia dalam temu media, Rabu (11/3/2020), di Gedung Kemenkes, Jakarta Selatan.

-
Ilustrasi orang tengah dirawat (Unsplash.com/Olga Kononenko)

Ini Alasan Kematian Akibat DBD Tinggi

Dalam kesempatan tersebut, dr Nadia juga mengemukakan sejumlah alasan angka kematian akibat DBD di Kabupaten Sikka Cukup tinggi. Dari 32 kematian karena DBD di NTT, ada 14 kasus kematian di Sikka yang sebagian besar terjadi pada usia di bawah 14 tahun. Alasan pertama adalah keterlambatan membawa pasien ke rumah sakit.

"Puskesmas di Kabupaten Sikka sebenarnya bisa merawat DBD tapi hanya untuk stadium 1 dan 2. Kalau DBD yang berat harus di rumah sakit tapi ada daerah yang sangat dekat dengan Ende sehingga cukup jauh untuk merujuk pasien," ucap dr Nadia.

Selain jarak, tidak semua tenaga kesehatan di Puskesmas Kabupaten Sikka memiliki kemampuan yang sama untuk menangani DBD sementara kasusnya banyak. Belum lagi faktor dari masyarakat. Tidak semua masyarakat bersedia anggota keluarganya yang terkena di DBD dirujuk ke rumah sakit. Mereka baru mengizinkan jika kesadaran pasien sudah menurun padahal itu sudah terlambat.

"Alasan kedua kesiapan layanan di rumah sakit. Kalau pasien dalam jumlah besar tapi terkendali, kemungkinan pemberian layanan lebih baik. Tapi karena pasien menumpuk bisa jadi risiko penilaian rumah sakit," kata dr Nadia.

Alasan ketiga adalah kondisi pasien itu sendiri. Ketika sudah dirujuk, pasien sudah dalam kondisi berat sehingga sulit untuk ditolong.

"Kalau saya bicara dengan dokter spesialis penyakit dalam dan spesialis anak untuk DBD, secara spesifik pada kondisi tertentu pasien tidak bisa dikembalikan karena mengalami syok. Kalau sudah berat sulit untuk mengendalikannya," pungkas dr Nadia.


Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

10 Jenis Makanan yang Harus Dihindari Saat Migrain

Sabtu, 20 April 2024 | 08:30 WIB
X