Pandemi COVID-19 mulai menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Aktivitas sosial dan ekonomi mulai bergeliat kembali di penghujung tahun 2021, dan pada tahun 2022 diharapkan sudah kembali normal.
Meredupnya Pandemi COVID-19 ini tidak terlepas dari program vaksinasi yang digalakkan pemerintah. Dengan divaksin, kemungkinan seseorang terpapar COVID-19 menjadi kecil.
Namun, baru-baru ini beredar isu di media sosial yang menyebutkan bahwa vaksin akan membuat orang mengalami sakit jantung dan trauma pandemi atau dikenal sebagai Post-Pandemic Stress Disorder (PPSD).
Akun Twitter Kathy Gyngell @KathyConWom awalnya membagikan sebuah artikel milik situs breitbart.com berjudul "Up to 300k New UK Heart Cases - Due to 'Post-Pandemic Stress Disorder' (PPSD).
Ia menduga bahwa trauma pandemi berhubungan dengan vaksin COVID-19.
"Apa vaksin tidak ada hubungannya dengan itu? Tidak layak diselidiki? Hanya bertanya," tulis akun dengan jumlah 27.800 follower itu.
So the vaccine has got nothing to do with it? Not worth investigating? Only asking.#Myocarditis #AdverseReactions https://t.co/NbLGxx0LT8 via @BreitbartNews
— Kathy Gyngell (@KathyConWom) December 7, 2021
Benarkah demikian?
Menurut ahli bedah vaskular di Rumah Sakit Northwick Park, Inggris, Tahir Hussain, trauma pandemi adalah salah satu efek buruk yang muncul kebijakan lockdown, yang di Indonesia disebut dengan istilah yang berubah-ubah, mulai dari PSBB hingga PPKM.
Lockdown, kata Tahir, sering menyebabkan masalah kesehatan mental berupa stres, penurunan gerak, hingga membuat kebiasaan gaya hidup yang tidak sehat. Perubahan ritme hidup itu yang kemudian menghadirkan PPSD.
Tahir berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara PPSD dan kondisi jantung dengan vaksin COVID-19.
"Tidak ada bukti yang menerangkan bahwa vaksin COVID menyebabkan PPSD," kata Tahir, seperti dilansir Reuters.
Pendapat senada juga disampaikan Profesor Imunologi di Imperial College London, Danny Altmann.
Merujuk pada sebuah studi yang membuktikan peningkatan kasus pembekuan darah, strok, serangan jantung, dan kematian, condong dialami oleh orang yang tidak divaksin lalu terinfeksi COVID-19.
"Jadi bukan orang yang sudah divaksin," katanya.