Bukti Ilmiah Belum Kuat, Legalitas Ganja sebagai Obat Masih Pro Kontra

- Senin, 20 April 2020 | 10:55 WIB
Ilustrasi ganja. (Pexels/Sharon McCutcheon)
Ilustrasi ganja. (Pexels/Sharon McCutcheon)

Ganja atau marijuana merupakan salah satu jenis narkoba yang sering disalahgunakan oleh masyarakat.

Berasal dari tanaman bernama cannabis sativa, ganja memiliki sejumlah efek kesehatan. Misalnya hilang memori, mengganggu fungsi otak, halusinasi, delusi, rasa cemas, serangan panik, menurunkan sistem imun, dan masih banyak lagi.

Namun belakangan, ganja dikatakan bisa memberikan manfaat medis. Hal ini memicu perdebatan tentang legalitas ganja di sejumlah negara seperti Malaysia, Thailand, negara di Eropa, dan Amerika. Bahkan di Indonesia beberapa waktu lalu juga muncul usulan untuk legalitas ganja yang menuai pro kontra.

-
Ilustrasi gaun ganja. (Pexels/Washarapol D BinYo Jundang)

 

Menurut dr Hari Nugroho, pakar adiksi dan peneliti obat-obatan terlarang dari Institute of Mental Health Addiction and Neuroscience (IMAN), efek atau manfaat kesehatan dari medical marijuana secara evidence based (bukti penelitian) belum terlalu kuat.

Meskipun pada beberapa kondisi memang ada riset yang mendukung. Namun riset-riset tersebut tingkatannya belum sampai yang paling tinggi.

"Kalau dalam riset itu tingkatannya misalkan A, B, C, D, E. Untuk medical marijuana paling tinggi baru ada level evidence based B, khususnya untuk nyeri kronis," ujar dr Hari kepada Indozone saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (20/4/2020).

Dia menekankan, sebenarnya yang digunakan dalam dunia medis adalah zat aktif dari marijuana. Jadi bukan ganja yang berbentuk daun kering. Ada ratusan zat aktif, tetapi yang sekarang digunakan adalah cannabidiol (CBD).

-
Ilustrasi daun ganja. (Pexels/Aphiwat chuangchoem)

 

Secara evidence based, zat aktif tersebut bisa digunakan sebagai obat pereda nyeri dan mengurangi kejang pada beberapa kasus seperti dravet syndrome. Namun, untuk kondisi lain, penggunaan zat aktif dari ganja belum didukung data-data ilmiah dengan kuat.

"Jadi memang sebenarnya terbatas yang punya evidence based yang cukup kuat. Sementara yang lain-lain seperti penggunaan CBD untuk anti mual ada evidence based, tapi tingkatannya belum terlalu kuat," ucap dr Hari Nugroho.

Di sisi lain, ada riset yang mengatakan bila penggunaan CBD sebagai antimual malah menyebabkan efek samping. Kemudian pada orang dengan kejang epilepsi, penggunaan zat aktif tersebut malah menimbulkan cannabinoid hyperemesis syndrome yang menyebabkan muntah-muntah berlebihan, tidak nafsu makan, dan pada akhirnya mengakibatkan kurang gizi. 

"Jadi semacam bertolak belakang," pungkas dr Hari.


Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

X