Banyaknya peringatan serta berbagai informasi tentang bahaya rokok konvensional, membuat sebagian orang berpikir bahwa vape adalah media yang bisa dimanfaatkan untuk berhenti merokok.
Mereka juga mengklaim bahwa vape bisa menurunkan risiko seseorang terkena kanker paru. Padahal, anggapan ini salah.
"Selama berbentuk asap (atau uap pada vape) risikonya sama. Salah, menggunakan vape untuk berhenti merokok," ujar dokter spesialis paru dari rumah sakit Persahabatan, Dr. Elisna Syahruddin di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Elisna menambahkan, uap vape sebenarnya lebih kental daripada rokok konvensional. Sama halnya dengan rokok, vape juga bisa membuat saluran pernapasan iritasi.
"Asap vape lebih berat dari rokok konvensional. Lebih kental. Segala yang berbentuk asap dan dihisap itu sama (risikonya). Asap melukai saluran napas, asap mengandung karsinogen dan mengiritasi saluran napas," kata Elisna.
Elisna menjelaskan, memilih rokok "ringan atau mild" juga bukan cara yang tepat untuk berhenti dari kebiasaan merokok. Ia bahkan menyebut bahwa cara tersebut pembodohan publik.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr. Agus Dwi Susanto mengungkapkan, vape mengandung nitrosamin, formaldehida, akrolein yang dapat menyebabkan seseorang terserang kanker.
"Riset pada tikus-tikus yang terekspos vape itu hampir 70-80% timbul kanker parunya," ungkap Agus.
Kandungan karsinogen yang dikonsumsi secara terus menerus dapat mengubah sel normal menjadi tak normal, hingga akhirnya berubah jadi kanker.
Agus menambahkan, butuh waktu yang cukup lama untuk bahan-bahan tersebut berubah menjadi kanker.
"Jadi bukan memilih vape. Vape tidak bisa untuk berhenti merokok, malah tambah parah," tuturnya.
Agus menjelaskan, berdasarkan data dari rumah sakit rujukan, sekitar 80% penderita kanker paru adalah seorang perokok.
"4% karena polusi udara, 6,9% dari faktor lainnya seperti radon, suatu radiasi dari alam, sisanya karena faktor lainnya seperti infeksi kronik, genetik dan lainnya," jelasnya.