Seperti Apa Penggunaan Ganja untuk Pengobatan?

- Senin, 20 April 2020 | 11:45 WIB
Ilustrasi daun ganja. (Pexels/Aphiwat chuangchoem)
Ilustrasi daun ganja. (Pexels/Aphiwat chuangchoem)

Belakangan ini, legalisasi ganja tengah menjadi sorotan. Beberapa negara seperti Thailand, Malaysia, Amerika Serikat, Jerman, dan Austria mulai mengembangkan ganja sebagai obat.

Kendati demikian, hal tersebut masih menjadi perdebatan lantaran secara evidence based atau bukti ilmiah manfaat kesehatan dari ganja atau marijuana belum terlalu kuat.

Pakar adiksi dan peneliti dari Institute of Mental Health Addiction And Neuroscience (IMAN), dr Hari Nugroho mengatakan, memang ada riset-riset terkait medical marijuana. Hanya saja tingkatan riset tersebut belum terlalu tinggi. Bila diibaratkan, tingkatan riset terbagi menjadi A, B, C, D, dan E, riset tentang medical marijuana baru ada pada tingkat B.

Selain itu, penggunaan ganja dalam dunia medis tidak semata-mata berbentuk daun cannabis sativa yang dikeringkan. Diungkapkan oleh dr Hari, kebanyakan yang digunakan adalah zat aktif dari ganja.

Terdapat ratusan zat aktif, tapi yang sekarang paling utama digunakan adalah cannabidiol (CBD). Zat aktif tersebut juga terdapat pada salah satu obat yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) yakni epidiolex.

-
Ilustrasi ganja. (Pexels/Yash Lucid)

 

"Tapi penggunaan seperti obat tersebut prosedurnya juga cukup panjang. Tidak sembarang dokter boleh meresepkannya, itu terbatas pada mereka yang punya lisensi," ujar dr Hari kepada Indozone saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (20/4/2020).

Selain itu, penggunaan obat yang mengandung CBD bukanlah pilihan utama. Obat tersebut baru digunakan apabila sudah tidak ada obat lain yang mampu mengatasi keluhan. Alasannya karena ada efek samping yang bisa terjadi dan hal itu terkadang tidak dikemukakan kepada para advokat legalisasi. 

"Ada beberapa riset-riset tentang efek samping khususnya penggunaan CBD untuk pengobatan. Misalnya penggunaan CBD pada orang dengan kejang epilepsi, ada riset yang mengatakan zat aktif tersebut justru menimbulkan cannabinoid hyperemesis syndrome yang mengakibatkan muntah-muntah berlebihan, tidak nafsu makan, dan pada akhirnya kurang gizi," kata dr Hari.

Meskipun CBD tidak membuat mabuk seperti kandungan zat aktif lainnya dalam ganja yakni tetrahydrocannabinol (THC), penggunaannya sebagai obat masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Sebab ada efek samping yang lebih membahayakan.

"Kadang-kadang efek samping itu tidak dikemukakan kepada advokat legalisasi sehingga persepsi masyarakat jadi kurang pas, terlalu hype. Seakan-akan ganja adalah obat dari segala obat. Kayak sekarang sampai ada yang bilang untuk mengatasi Covid-19 harus dikasih ganja, padahal tidak demikian," tandas dr Hari.


Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

X