Terkait Regulasi Rokok Elektronik, Komunitas Vape Minta Dilibatkan

- Rabu, 25 September 2019 | 12:48 WIB
instagram/@hstygervalley
instagram/@hstygervalley

Dilansir dari ANTARA, Asosiasi Vapers Indonesia (AVI) mendukung rencana pembuatan aturan atau regulasi terhadap peredaran rokok elektronik. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen.

"Dengan adanya aturan dari pemerintah terhadap produk alternatif tembakau, konsumen bisa lebih terlindungi. Kami berharap pemerintah dapat lebih terbuka dengan melibatkan Vapers (pengguna) dalam diskusi membuat kebijakan agar dapat menyampaikan aspirasi mengenai produk ini," kata Pembina AVI Dimasz Jeremia.

Dimasz mengatakan bahwa kehadiran vape dapat membantu para konsumen mengurangi konsumsi rokok konvensional. Ini dinilai dapat membantu mengurangi prevelensi merokok di Indonesia.

-
instagram/@avi.indonesia

 

Dimasz menuturkan berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh University of Auckland, ditemukan bahwa perokok yang mencoba berhenti dengan memanfaatkan rokok elektronik dan nikotin tempel memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk tidak merokok sama sekali selama enam bulan.

"Mereka bahkan memprediksikan bahwa apabila kedua metode tersebut digunakan, maka akan ada 15.000 hingga 36.000 perokok di Selandia Baru yang akan berhenti merokok," ucapnya.

Pernyataan yang dikeluarkan oleh Dimasz ini sebagai tanggapan dari komentar sejumlah organisasi kesehatan Indonesia yang mendorong pemerintah untuk membuat regulasi mengenai peredaran rokok elektronik.

Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam (PAPDI) mengatakan bahwa kehadiran rokok elektrik harus diawasi layaknya rokok konvensional. Sally mengungkapkan sejak tahun 2015, hampir 2/3 negara di dunia sudah memiliki regulasi tentang rokok elektronik ini.

-
ilustrasi/pixabay

 

"Rokok elektronik juga berbahaya karena tidak ada penjelasan mengenai kandungan di dalam cairannya," kata Sally.

Sally mengatakan kehadiran rokok elektronik sangat minim penjelasan tentang komposisi cairan dan kurangnya sosialisasi terhadap dampak rokok elektronik. Hal ini dirasa berbeda dengan rokok tembakau yang meskipun berbahaya tapi ada penjelasan mengenai dampaknya.

"Berdasarkan paparan dr Agus (Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), baru tiga bulan menggunakan vape (rokok elektronik), paru paru sudah rusak (sakit). Jadi elektronik sama berbahaya bahkan lebih karena ada kronik dan akut," ujarnya.

Sally juga mengatakan bahwa sejumlah perhimpunan dokter Indonesia juga minta dibuatkan regulasi mengenai rokok elektronik seperti PDPI, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) yang menangani persoalan pengendalian tembakau.

"Di Indonesia, belum juga ada tindakan jelas terhadap rokok elektronik. Padahal dalam Riset Kesehatan Dasar 2018, perokok jenis rokok elektronik di Indonesia telah mencapai 2,8 persen atau sekitar 7,3 juta orang dan terus berkembang belakangan ini," ucapnya.

Halaman:

Editor: Administrator

Terkini

X