Fenomena 'Baby Smoker' di Indonesia Berharap Bisa Tuntas Lewat RUU Kesehatan

- Senin, 17 April 2023 | 17:30 WIB
Ilustrasi remaja merokok. (Freepik/bedneyimages)
Ilustrasi remaja merokok. (Freepik/bedneyimages)

Pada 2020 lalu, Indonesia sempat mendapat julukan sebagai 'baby smoker country'. Hal ini merujuk pada banyaknya jumlah data perokok balita.

Ketua Tobacco Control Support Center Sumarjati Arjoso menjelaskan, sebenarnya pada tahun 2013-2018 terjadi penurunan jumlah perokok usia dewasa 24-25 tahun. Namun pada jumlah perokok anak usia 10-14 tahun, terjadi peningkatan sebesar 0,7 persen.

Baca juga: Soal Aturan Rokok di RUU Kesehatan, Kak Seto: Belum Lindungi Anak dari Iklan Rokok

Dijelaskan Sumarjati, usia pertama kali merokok paling tinggi ialah usia 15-19 tahun dengan persentase sebesar 52,1 persen, kemudian di usia 10-14 tahun sebesar 23,1 persen. Artinya, banyak anak dan remaja di Indonesia merokok sejak usia SD dan SMP. 

"Bahkan, ada yang mulai merokok usia 5-9 tahun itu 2,5 persen. Jadi Indonesia ini kadang-kadang memang malu kita sebenarnya, baby smoker anak-anak balita itu merokok dan itu viral di berbagai tempat sehingga rasanya kita memang malu," jelasnya dalam diskusi daring bersama LPAI, ditulis Senin (17/4/2023).

Terlebih lagi, ia juga menyoroti fenomena 'baby smoker' alias perokok berusia di bawah lima tahun (balita).

-
Ilustrasi remaja merokok. (Freepik/topntp26)

"Kemudian terjadi peningkatan persentase perokok usia 10-18 tahun dari 2013 itu 7,2 persen menjadi 9,1 persen pada 2018. Mestinya sesuai target RPJMN 2015-2019 harusnya turun menjadi 5,4 persen. Tetapi malah naik menjadi 9,1 persen," sambung Sumarjati.

Lebih lanjut Sumarjati menjelaskan, adapun faktor pemicu anak Indonesia merokok lantaran maraknya iklan rokok di berbagai platform.

"Dari TV meskipun katanya jarang dilihat anak-anak tapi kalau kenyataannya tetap dilihat dan juga iklan di TV itu ada di media daring 65,2 persen iklannya memang lewat. Kalau kita melihat pun mula-mula tidak tahu bahwa itu bukan iklan rokok, tapi ternyata iklan rokok yang hebat sekali. Dan di media sosial adalah 36,2 persen," beber Sumarjati.

"Di TV, kemudian ada banner-banner, billboard, poster, tembok pun digambari. Kendaraan umum juga banyak sekali iklan rokok, internet, kemudian koran, majalah, radio, dan juga bioskop. Ini memang sangat menyedihkan ya," pungkasnya.

Baca juga: Parah! Wajahnya Jadi Iklan Larangan Merokok Tanpa Izin, Pria Lamongan Tuntut Keadilan

Dalam kesempatan serupa, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau yang akrab disapa sebagai Kak Seto menegaskan perlunya pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di Indonesia demi mencegah konsumsi rokok oleh anak-anak. Ia berharap, hal itu nantinya bisa dimuat dalam RUU Kesehatan yang kini tengah digarap pemerintah.

"Mohon dipastikan aturan yang tegas mengenai hal tersebut. Dengan RUU Omnibus Law Kesehatan ini kami berharap pemerintah mengatur pembatasan, pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di Indonesia demi kepentingan terbaik masyarakat dan juga anak-anak Indonesia," tegas Kak Seto.

Artikel Menarik Lainnya:

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

X