Omicron Ngamuk Jelang Bulan Ramadan, Dokter: Jangan Terjebak Polemik Salat Tarawih

- Sabtu, 26 Februari 2022 | 10:51 WIB
dr. Tonang Dwi Ardiyanto Sp PK., PhD. (Istimewa)
dr. Tonang Dwi Ardiyanto Sp PK., PhD. (Istimewa)

Kasus COVID-19 varian Omicron terus mengalami peningkatan. Hingga Jumat (25/2/2022), jumlah kasus telah mencapai 6.453, lebih sedikit 54 dibanding hari sebelumnya. Data mingguan, jumlah kasus Omicron naik 5,25 persen setiap pekannya.

Kenaikan kasus Omicron ini pun tampak seolah menyongsong bulan Ramadan, yang akan tiba sebulan lagi.

Menanggapi keadaan itu, Juru bicara Satgas COVID-19 dari RS Universitas Sebelas Maret (UNS) dr. Tonang Dwi Ardiyanto Sp PK., PhD mengatakan, masyarakat tidak perlu bereaksi berlebihan terhadap fakta tersebut. Sebab, meskipun Omicron cepat menular, kenyataannya juga dibarengi dengan penurunan jumlah kasus yang cepat.

"Walaupun angka penularannya cepat, namun angka perawatan pasien di rumah sakit masih signifikan di bawah gelombang Delta Juli 2021 lalu,” kata dr. Tonang, Jumat (25/2/2022), dilansir Antara.

Karena itu, Tonang mengimbau agar kita tidak perlu terjebak dalam polemik soal pembatasan salat tarawih dan lainnya.

“Secara keseluruhan kita berharap periode ini segera mencapai puncak dan segera turun agar bulan Ramadan tahun ini kita tidak terjebak lagi dengan polemik shalat tarawih maupun lebaran yang dua tahun ini jadi terganjal akibat COVID-19,” kata dr. Tonang.

Subvarian Omicron BA.1, menurut dr. Tonang, memiliki karakteristik cepat berkembang di saluran pernapasan, tapi lambat berkembang di paru-paru.

"Inilah yang kita duga menjadi salah satu faktor gejala yang dialami pasien terinfeksi Omicron cenderung lebih ringan dari pada varian Delta. Tapi kita patut khawatir dengan subvarian Omicron BA.2 yang kemampuan berkembang di paru-paru bisa mendekati kemampuan Delta," kata dr. Tonang.

Lebih Ringan Dibanding Delta

Diakui oleh dr. Tonang, rata-rata derajat keparahan penyakit pada pasien terinfeksi Omicron ini lebih ringan daripada varian Delta tahun lalu.

Namun begitu, ia berharap dengan banyaknya yang mendapat kekebalan alami dari infeksi dan juga makin banyaknya yang mendapatkan vaksinasi, varian virus ini tidak akan berkembang lebih jauh.

"Saya yang termasuk mempercayai apabila varian baru mendominasi maka pelan-pelan varian sebelumnya berkurang. Tapi sebenarnya kita tidak perlu terjebak dengan Omicron dan Delta karena semuanya sama-sama virus COVID-19. Hanya saja semua varian virus ini berisiko membuat pasiennya bergejala berat. Perkara Omicron atau bukan itu kepentingannya untuk epidemiologis, agar bisa memetakan dan melihat tren ke depan. Tapi bagi masyarakat, apapun varian COVID-19 yang menginfeksinya, cara penanganannya sama," ujar dr. Tonang.

Saat ini jumlah kasus dirawat di RS UNS sedikit mengalami peningkatan. Akan tetapi saat dibandingkan dengan gelombang Delta yang lalu relatif lebih rendah, kata dr. Tonang.

"Kalau di saat gelombang Delta yang lalu kita mengalih fungsikan lebih dari separuh tempat tidur, hampir 70 persen disediakan untuk penanganan COVID-19. Saat ini hanya sekitar 40 persen yang kami siapkan dan itu belum penuh,” kata dr. Tonang.

Selain saat ini mampu mempertahankan fasilitas pelayanan kesehatan, diketahui juga perbandingan kasus kematian periode Omicron dengan Delta juga berbeda secara signifikan. Namun dr. Tonang menyarankan Kemenkes untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kasus kematian saat ini.

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

10 Dampak Negatif Polusi Udara Terhadap Kesehatan

Selasa, 26 Maret 2024 | 06:20 WIB
X