Di Balik Gejolak Emosi Remaja Orangtua Harus Ngerti, Ini Kata Psikolog Vera Hadiwidjojo

- Rabu, 5 Januari 2022 | 14:52 WIB
Ilustrasi. (Foto/Antara)
Ilustrasi. (Foto/Antara)

Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, memberi penjelasan mengenai alasan di balik gejolak emosi yang kerap terjadi pada usia remaja.

Menurut Vera, bagian otak prefrontal cortex belum berfungsi secara optimal saat usia remaja sehingga tidak mengherankan apabila perilaku dan keputusan yang mereka lakukan lebih banyak dipengaruhi emosi.

“Bagian inilah (prefrontal cortex) yang membantu kita untuk mengambil keputusan atau melakukan fungsi-fungsi berpikir tingkat tinggi yang eksekutif dan memikirkan efek jangka panjang,” kata Vera saat diskusi virtual bersama media, ditulis Rabu (5/1/2022).

Ia mengatakan fungsi prefrontal cortex baru berkembang secara optimal ketika seseorang menginjak usia 20 hingga 25 tahun.

Verta menyebutkan contoh kasus yang biasanya banyak dialami remaja, yakni bermain game online.

Alih-alih mengerjakan tugas sekolah atau belajar, mereka lebih gemar menghabiskan waktu untuk bermain game.

Remaja kesulitan mengontrol atau menahan diri untuk tidak terus-menerus bermain game karena lebih banyak dipengaruhi emosi.

“Main game itu asik, itu emosi semua dapatnya. Perasaan senang dan pleasure semua ada di situ. Terus bandingkan dengan belajar, nah itu berat banget,” tuturnya seperti yang dilansir Antara.

Menurut Vera, untuk melakukan transisi dari kecanduan bermain game hingga anak memiliki kesadaran untuk belajar harus dimulai dari perubahan-perubahan dan target-target kecil yang dilakukan secara konsisten dengan didampingi oleh orang tua.

“Jadi yang kita (orang tua) tekankan pada anak adalah, ‘Yuk, kamu pasti bisa mengendalikan keinginan kamu untuk main game. Sebenarnya dengan mengalahkan (keinginan) itu saja, dia sudah berjuang supaya prefrontal cortex-nya bisa berfungsi lebih optimal,” kata Vera.

Vera menyebutkan contoh lain, biasanya remaja juga mengalami kesulitan ketika mempertimbangkan dan memilih jurusan kuliah.

Ketika sisi emosi yang dikedepankan dalam pengambilan keputusan, maka tak heran apabila remaja jelang usia 20 tahun kadang kala merasa salah mengambil jurusan.

“Ada anak yang memilih jurusan yang penting masuk negeri, atau kerjanya gampang, atau ada idolanya di situ, jadi emosi yang bermain. Atau keinginan orang tuanya yang masuk ke sana,” ujarnya.

Dalam kasus seperti itu, Vera menekankan peran orang tua dan pendidik yang secara tidak langsung “menjadi penjaga” fungsi prefrontal cortex pada remaja.

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

X