Sindrom Stockholm dalam Kasus Ustaz Pesantren Perkosa 21 Santriwati, 5 Tahun Tertutupi

- Jumat, 7 Januari 2022 | 17:57 WIB
Herry Wirawan, guru pesantren bejat yang memperkosa 21 santriwatinya. (Foto: Istimewa)
Herry Wirawan, guru pesantren bejat yang memperkosa 21 santriwatinya. (Foto: Istimewa)

Psikolog Forensik, Reza Indragiri memberikan analisa terkait kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh ustaz Herry Wirawan, pemilik sekaligus pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani, dan Madani Boarding School, terhadap 13 santriwatinya (atau 21 korban menurut data P2TP2A Kabupaten Garut) di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.

Menurut Reza, Herry dapat leluasa berbuat demikian sejak tahun 2016 tanpa terbongkar karena kuasa yang dimilikinya di lingkungan pesantren tersebut. 

Sebagai pemilik sekaligus pengajar, Herry punya kuasa untuk meminta para santriwatinya agar menuruti apapun perintahnya, termasuk dalam hal melayani nafsu bejatnya.

Oleh karenanya, menurut Reza, perbuatan yang dilakukan Herry tidak sebatas pada kejahatan seksual.

"Oke, ini memang tindak pidana kejahatan seksual. Tapi berdasarkan banyak riset, diketahui bahwa motif yang sesungguhnya bukanlah motif seksual. Apa itu? Motif penguasaan: 'bahwa saya bisa menunjukkan bahwa saya bisa mengendalikan hidupmu', 'bahwa saya bisa menjahatimu, dan kamu tidak akan bisa mencari pertolongan kepada siapapun. Alih-alih kamu akan justru semakin tergantung pada saya'," kata Reza, dalam wawancara dengan Indy Rahmawati, dikutip Indozone dari tayangan YouTube milik akun VDVC Talk.

Menurut Reza, ada beberapa kemungkinan kenapa Herry ingin menunjukkan kuasanya di pesantren tersebut. Salah satunya adalah kemungkinan bahwa semasa kecil dia pernah mengalami kejahatan seksual.

"Salah satu kemungkinannya adalah adakah pelaku mengalami kejahatan seksual pada waktu dulu, pada waktu dia masih kecil, pada waktu dia tidak berdaya. Kebingungan, amarah, kebencian, sakit hati, frustrasi, dan perasaan-perasaan negatif itu dipendam selama sekian lama tapi tidak pernah mati. Sampai suatu saat, meledak. Tapi tersalurnya ke pihak lain," jelas Reza.

Lantas, kenapa para korban terkesan bungkam hingga kasus ini baru terbongkar pada Mei 2021?

Di dalam psikologi, lanjut Reza, ada istilah yang disebut dengan 'Stockholm syndrome' atau sindrom Stockholm, yakni gangguan psikologis pada korban yang membuat mereka merasa simpati atau bahkan muncul rasa kasih sayang terhadap pelaku.

"Istilah ini untuk menunjukkan pada korban, yang bukannya menjauhi pelaku, bukannya memusuhi pelaku, bukannya melaporkan pelaku, tapi korban-korban ini justru jatuh simpati sedemikian rupa pada pelaku (dalam bentuk emosional)," jelas Reza.

Reza bilang, kondisi kesehatan mental seperti ini memang membingungkan dan langka. Ia menyampaikan analisa ini karena melihat fakta bahwa kasus ini sudah berlangsung sejak 2016, namun baru terbongkar sekarang.

"Saya tidak tahu apakah fenomena Stockholm syndrome ini juga berlaku di dalam kasus ini atau tidak. Tapi paling tidak, ini lingkungannya 'ideal', orang-orangnya juga 'ideal' untuk jadi korban kejahatan, itulah yang jadi penyebab barangkali dibutuhkan waktu yang sangat panjang sampai kasus ini terekspos," kata Reza.

Istri Tahu Kasus Ini

Istri Herry sendiri, NA, mengaku awalnya ia tidak menaruh curiga pada suaminya. Aktivitas di pesantren menurutnya berlangsung normal. Para santriwati bangun pada pukul 03.30 WIB, lalu salat tahajud dan tadarus Alquran.

"Dari jam 6 beres-beres sampai jam 8. Kemudian salat duha. Kemudian belajar sampai jam 12. Dari jam 12 dikasih jeda istirahat sampai jam 3 sore. Dari jam 3 sore, anak-anak itu hafalan Quran sampai magrib. Habis magrib kajian kitab kuning.  Isya, anak-anak masak, ada waktu istirahatnya. Tidur jam 9," kata NA saat diwawancarai Saeful Zaman dalam tayangan YouTube, disimak Indozone pada Rabu (22/12/2021).

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

X